Jakarta, 26 April 2025 – Kebijakan tarif resiprokal era Presiden Donald Trump kembali menjadi sorotan tajam, kali ini bukan dari kalangan akademisi atau politisi oposisi, melainkan dari jantung perekonomian Amerika Serikat sendiri. Sejumlah perusahaan raksasa AS, pilar-pilar ekonomi negeri Paman Sam, secara terbuka mengeluhkan dampak negatif kebijakan proteksionis tersebut yang telah menimbulkan kerugian signifikan dan mengancam pertumbuhan ekonomi. Laporan penurunan laba yang signifikan pada kuartal pertama tahun 2025 dari berbagai sektor menjadi bukti nyata betapa kebijakan tersebut telah memukul keras sendi-sendi perekonomian.
Laporan CNN yang terbit Sabtu lalu mengungkap deretan panjang perusahaan-perusahaan besar yang merasakan imbas buruk kebijakan tarif tersebut. Nama-nama besar seperti PepsiCo, American Airlines, Chipotle Mexican Grill, IBM, dan Procter & Gamble hanyalah sebagian kecil dari daftar panjang perusahaan yang mengalami penurunan profitabilitas. Dampaknya meluas dan berlapis, mulai dari penurunan penjualan hingga peningkatan biaya operasional, semuanya bermuara pada satu kesimpulan: kebijakan tarif Trump telah merugikan konsumen dan mengancam stabilitas ekonomi AS.
Salah satu contoh paling nyata terlihat dari kinerja Chipotle Mexican Grill, jaringan restoran cepat saji yang terkenal dengan menu burrito-nya. Penurunan penjualan yang signifikan di seluruh gerai menjadi bukti nyata dampak negatif kebijakan tarif. Kenaikan biaya bahan baku impor, seperti daging sapi dari Australia dan alpukat dari Peru, menjadi penyebab utama penurunan profitabilitas. CEO Chipotle, Scott Boatwright, dalam keterangannya kepada para analis, secara gamblang menyatakan bahwa kekhawatiran ekonomi, yang dipicu oleh kebijakan tarif, menjadi faktor utama penurunan frekuensi kunjungan konsumen ke restoran mereka. Pernyataan ini bukan sekadar keluhan, melainkan indikator kuat melemahnya daya beli konsumen Amerika akibat kebijakan proteksionis tersebut.
PepsiCo, raksasa minuman dan makanan ringan global, juga merasakan dampak yang tak kalah signifikan. Kenaikan biaya dalam rantai pasokan, yang dipicu oleh ketidakpastian ekonomi global yang diperparah oleh kebijakan tarif, memaksa perusahaan untuk menurunkan proyeksi laba bersih tahunan. CEO PepsiCo, Ramon Laguarta, dalam sebuah pernyataan resmi, memprediksi peningkatan volatilitas dan ketidakpastian, terutama yang terkait dengan perkembangan perdagangan global, akan terus meningkatkan biaya rantai pasokan dan berpotensi menurunkan penjualan sepanjang tahun. Pernyataan ini menunjukkan betapa kebijakan tarif bukan hanya masalah sesaat, melainkan ancaman jangka panjang bagi stabilitas bisnis dan pertumbuhan ekonomi.
Sektor penerbangan juga tak luput dari dampak negatif kebijakan tarif. American Airlines, Delta Air Lines, Southwest Airlines, dan Alaska Airlines, empat nama besar di industri penerbangan AS, kompak melaporkan penurunan laba secara keseluruhan pada tahun ini. Penurunan ini tak hanya disebabkan oleh peningkatan biaya operasional, tetapi juga berkurangnya jumlah penumpang, khususnya dari luar negeri.
Industri perhotelan dan pariwisata juga turut merasakan getahnya. Penurunan jumlah wisatawan asing, terutama dari Kanada, menjadi indikasi nyata dampak negatif kebijakan tarif terhadap sektor ini. Seorang pemilik hotel di New York City, dalam laporannya kepada Federal Reserve (Fed), mengungkapkan penurunan drastis reservasi internasional dan kunjungan dari warga Kanada. Ia bahkan memprediksi penurunan jumlah wisatawan dari Eropa dan Tiongkok pada musim panas mendatang, sebagai reaksi terhadap kebijakan tarif AS. Pernyataan ini menunjukkan betapa kebijakan proteksionis tidak hanya berdampak pada sektor tertentu, melainkan menimbulkan efek domino yang mengancam pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh.
Secara keseluruhan, laporan-laporan dari berbagai sektor ini menunjukkan gambaran yang mengkhawatirkan. Kebijakan tarif Trump, yang awalnya bertujuan melindungi industri dalam negeri, justru menimbulkan dampak negatif yang meluas dan berdampak buruk bagi konsumen dan perekonomian secara keseluruhan. Kenaikan harga barang impor, penurunan daya beli konsumen, dan penurunan profitabilitas perusahaan-perusahaan besar merupakan bukti nyata kegagalan kebijakan tersebut. Ketidakpastian ekonomi yang ditimbulkan oleh kebijakan ini juga telah menimbulkan efek domino yang mengancam stabilitas ekonomi jangka panjang.
Lebih dari sekadar penurunan angka laba, laporan-laporan ini menyoroti sebuah realitas yang lebih kompleks: kebijakan ekonomi yang proteksionis dan berbasis tarif dapat menimbulkan konsekuensi yang jauh lebih besar daripada manfaat yang dijanjikan. Alih-alih melindungi industri dalam negeri, kebijakan tersebut justru telah menciptakan lingkungan bisnis yang tidak pasti, meningkatkan biaya operasional, dan menekan daya beli konsumen. Akibatnya, bukan hanya perusahaan besar yang merasakan dampaknya, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat Amerika. Laporan ini menjadi pengingat penting bagi para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan secara matang dampak jangka panjang dari kebijakan ekonomi, dan untuk memprioritaskan solusi yang berkelanjutan dan menguntungkan semua pihak, bukan hanya segelintir kelompok kepentingan tertentu. Ke depan, diperlukan kajian yang lebih komprehensif dan evaluasi yang objektif terhadap dampak kebijakan ekonomi proteksionis agar tidak terulang kembali kesalahan yang sama di masa mendatang.