Jakarta – Gelombang kritik keras membanjiri Gedung Putih. Para konglomerat Amerika Serikat, yang dulunya menjadi pendukung setia Donald Trump, kini berbalik arah, mengecam kebijakan tarif impor balasan yang diterapkan presiden tersebut. Kebijakan yang dinilai berpotensi memicu "perang nuklir ekonomi" dan mengancam stabilitas ekonomi global ini telah memantik kemarahan dan kekhawatiran di kalangan elit bisnis Negeri Paman Sam.
Salah satu suara paling lantang datang dari Bill Ackman, konglomerat yang sebelumnya terang-terangan mendukung pencalonan Trump sebagai presiden. Dalam sebuah unggahan di platform X (sebelumnya Twitter), Ackman memperingatkan bahwa tarif baru yang mengancam akan dijatuhkan terhadap negara-negara yang gagal mencapai kesepakatan perdagangan dengan AS, sama saja dengan memicu bencana ekonomi. "Investasi bisnis akan terhenti, dan konsumen akan menutup dompet mereka jika tarif baru benar-benar diberlakukan," tulis Ackman, seperti dikutip dari CNN Business, Sabtu (26/4/2025).
Peringatan Ackman bukan sekadar ungkapan kekhawatiran biasa. Ia menggambarkan potensi dampak kebijakan tarif tersebut sebagai ancaman serius terhadap perekonomian AS. "Kami akan sangat merusak reputasi kami di mata dunia, sebuah kerusakan yang akan memakan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, untuk dipulihkan," tegasnya. Pernyataan ini menggarisbawahi kekhawatiran mendalam akan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkan oleh proteksionisme ekonomi yang dianut Trump.
Ackman bukanlah satu-satunya konglomerat yang bersuara. Dalam beberapa hari terakhir, gelombang protes dari kalangan elit bisnis AS terus berdatangan. Kekhawatiran akan dampak ekonomi yang merusak telah mendorong mereka untuk secara terbuka mengkritik kebijakan tarif Trump. Salah satu tokoh terkemuka yang ikut menyuarakan keprihatinan adalah Jamie Dimon, CEO JPMorgan Chase, salah satu bank terbesar di dunia.
Dalam surat tahunan kepada para pemegang saham, Dimon memperingatkan bahwa kebijakan tarif tersebut berpotensi memicu inflasi yang tinggi, mendorong ekonomi global ke jurang resesi, dan pada akhirnya melemahkan posisi Amerika Serikat di panggung dunia. "Tarif baru-baru ini kemungkinan akan meningkatkan inflasi dan menyebabkan banyak orang mempertimbangkan kemungkinan resesi yang lebih besar," tulis Dimon. Ia menambahkan, "Apakah daftar tarif menyebabkan resesi atau tidak masih menjadi pertanyaan, tetapi itu akan memperlambat pertumbuhan." Pernyataan Dimon, yang berasal dari seorang tokoh berpengaruh di sektor keuangan, semakin memperkuat kekhawatiran akan dampak negatif kebijakan tarif Trump.
Sementara itu, Stanley Druckenmiller, pendiri Duquesne Family Office, sebuah perusahaan investasi terkemuka, juga ikut menyatakan penentangannya. Melalui unggahan di platform X, Druckenmiller secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana tarif Trump yang melebihi 10%. Pernyataan ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap kebijakan tarif Trump bukan hanya datang dari kalangan yang memiliki kepentingan bisnis semata, tetapi juga dari para ahli ekonomi dan investor berpengalaman yang memahami dampak jangka panjang dari kebijakan tersebut.
Kritik yang dilontarkan oleh para konglomerat ini mencerminkan kekhawatiran yang semakin meluas di kalangan bisnis AS. Mereka melihat kebijakan tarif Trump bukan sebagai solusi, melainkan sebagai ancaman serius terhadap pertumbuhan ekonomi dan stabilitas global. Kebijakan proteksionis tersebut dinilai akan memicu perang dagang yang merugikan semua pihak, termasuk Amerika Serikat sendiri.
Lebih jauh lagi, kritik ini juga menyoroti dilema yang dihadapi pemerintahan Trump. Di satu sisi, Trump berupaya melindungi industri dalam negeri melalui kebijakan proteksionis. Di sisi lain, kebijakan tersebut justru memicu reaksi keras dari kalangan bisnis yang selama ini menjadi pendukungnya. Hal ini menunjukkan adanya perpecahan yang signifikan antara pemerintah dan sektor swasta, yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi AS.
Para kritikus berpendapat bahwa kebijakan tarif Trump tidak hanya akan meningkatkan harga barang dan jasa bagi konsumen Amerika, tetapi juga akan merusak rantai pasokan global dan mengurangi daya saing perusahaan AS di pasar internasional. Mereka juga memperingatkan bahwa eskalasi perang dagang dapat memicu retaliasi dari negara-negara lain, yang pada akhirnya akan merugikan perekonomian AS secara signifikan.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan ekonomi AS di bawah kepemimpinan Trump. Apakah pemerintahan Trump akan tetap bersikukuh pada kebijakan tarifnya, meskipun mendapat kecaman keras dari kalangan bisnis? Atau akankah pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar terhadap perekonomian?
Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat menentukan arah perekonomian AS dan hubungan perdagangan global ke depannya. Pernyataan-pernyataan keras dari para konglomerat ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap pemerintahan Trump untuk mengubah kebijakannya semakin meningkat. Ke depan, kita perlu mencermati bagaimana pemerintahan Trump akan merespon kritik tajam ini dan bagaimana kebijakan tarifnya akan berdampak pada ekonomi AS dan dunia. Perjuangan antara proteksionisme dan liberalisasi perdagangan nampaknya akan terus berlanjut, dengan konsekuensi yang signifikan bagi perekonomian global. Pernyataan para konglomerat ini menjadi indikator kuat bahwa pertarungan tersebut jauh dari selesai.