Jakarta, 20 April 2025 – Pemerintah optimistis Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih dapat menjadi alternatif bagi petani dan nelayan, menggeser dominasi tengkulak dan rentenir yang selama ini kerap mengeksploitasi mereka. Namun, pandangan tersebut mendapat tantangan dari kalangan ekonom. Tauhid Ahmad, ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), menilai ambisi tersebut masih menghadapi jalan panjang dan penuh tantangan. Ia meragukan Kopdes Merah Putih mampu dengan cepat menggantikan peran tengkulak dan rentenir di pedesaan.
Dalam wawancara eksklusif dengan detikcom, Sabtu (19/4/2025), Tauhid menekankan sejumlah kendala yang menghambat realisasi ambisius tersebut. Pertama, jumlah koperasi desa yang aktif saat ini masih sangat terbatas. Angka empat ribuan koperasi aktif, menurutnya, jauh dari cukup untuk menjangkau seluruh petani dan nelayan di Indonesia. Pemerintah memang berencana melibatkan 64 ribu anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) untuk bertransformasi menjadi koperasi, namun proses ini membutuhkan waktu dan upaya yang signifikan.
"Mereka (Gapoktan) rata-rata memang basisnya adalah petani yang berusaha di sektor budidaya, mendistribusikan pupuk subsidi, dan sebagainya. Namun, mereka belum beralih menjadi entitas bisnis yang menjalankan fungsi seperti rentenir. Ini membutuhkan proses yang panjang," jelas Tauhid.
Lebih lanjut, Tauhid mempertanyakan kemampuan koperasi desa yang ada saat ini untuk secara efektif menggantikan peran tengkulak dan rentenir. Ia menilai, transisi tersebut tidak mungkin terjadi dalam waktu singkat. Hal ini terutama disebabkan oleh ikatan sosial dan ekonomi yang kuat antara tengkulak dengan petani dan nelayan. Hubungan tersebut telah terjalin selama bertahun-tahun, menciptakan jaringan kepercayaan yang sulit dipecah begitu saja.
"Menurut saya, tidak mungkin cepat sampai mengurangi peran itu (tengkulak dan rentenir). Ikatan kuat secara sosial dan ekonomi antara para pelaku tengkulak dengan para petani merupakan tantangan besar yang membutuhkan waktu lama untuk diatasi," tegasnya.
Keberhasilan transformasi Gapoktan menjadi koperasi yang mampu bersaing dengan tengkulak juga diragukan oleh Tauhid. Ia menekankan bahwa menjadi koperasi tidak hanya sekadar mengubah struktur organisasi, tetapi juga membutuhkan jiwa kewirausahaan yang kuat. Petani, menurutnya, cenderung berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar, berbeda dengan jiwa bisnis yang dibutuhkan untuk mengelola koperasi yang efektif dan kompetitif.
"Beda dengan petani yang lebih self-sufficient, memenuhi kebutuhan dasar. Ini butuh orang-orang, pengurus yang memang punya jiwa usaha level tinggi," tambahnya.
Tauhid juga menyoroti fleksibilitas tinggi yang dimiliki tengkulak dalam menyediakan akses pembiayaan bagi petani dan nelayan. Banyak tengkulak yang memberikan pinjaman tanpa agunan, bahkan berdasarkan kepercayaan semata. Hal ini menjadi keunggulan kompetitif yang sulit ditiru oleh koperasi yang umumnya beroperasi dengan prinsip-prinsip yang lebih formal dan terstruktur.
"Kalau menurut saya, tengkulak masih akan tetap ada. Di beberapa tempat, mereka cukup kuat karena tingkat fleksibilitasnya tinggi, tanpa agunan, dan mengandalkan trust. Koperasi dengan prinsip-prinsip yang lebih modern, tidak semua bisa menerapkan cara-cara tengkulak tadi. Apalagi, sekarang sudah model digital dan sebagainya," pungkas Tauhid.
Kesimpulannya, meskipun Kopdes Merah Putih memiliki potensi untuk memberikan alternatif bagi petani dan nelayan, jalan menuju penggantian peran tengkulak dan rentenir masih sangat panjang dan penuh tantangan. Terbatasnya jumlah koperasi aktif, lemahnya jiwa kewirausahaan di tingkat desa, serta fleksibilitas tinggi yang dimiliki tengkulak dalam menyediakan pembiayaan menjadi hambatan utama. Pemerintah perlu merumuskan strategi yang komprehensif dan realistis, yang tidak hanya berfokus pada pembentukan koperasi, tetapi juga pada peningkatan kapasitas manajemen, pengembangan jiwa kewirausahaan, dan akses terhadap pembiayaan yang lebih mudah dan terjangkau bagi petani dan nelayan. Tanpa pendekatan yang terintegrasi dan berkelanjutan, ambisi menggeser peran tengkulak dan rentenir melalui Kopdes Merah Putih akan tetap menjadi mimpi yang sulit diwujudkan. Tantangan ini membutuhkan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, lembaga keuangan, dan para pemangku kepentingan lainnya untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi perkembangan koperasi desa dan pemberdayaan petani dan nelayan.