Jakarta, 17 April 2025 – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali menegaskan larangan tegas terhadap praktik privatisasi pantai oleh pelaku usaha di wilayah pesisir Indonesia. Insiden larangan akses publik ke Pantai Binongko, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, yang baru-baru ini viral menjadi pemicu ditegaskannya kembali komitmen KKP untuk menjaga akses publik terhadap ruang laut, yang merupakan milik bersama (common property). KKP menekankan bahwa Perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL), meskipun merupakan izin dasar bagi kegiatan usaha di ruang laut, sama sekali bukan dokumen kepemilikan atas wilayah tersebut.
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Hubungan Masyarakat dan Komunikasi Publik, Doni Ismanto Darwin, dalam keterangan tertulisnya, menyatakan keprihatinan atas insiden di Labuan Bajo. "Larangan mengakses pantai seperti yang terjadi di Labuan Bajo adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan," tegas Darwin. "Laut adalah milik bersama, dan kami berkomitmen untuk menjembatani setiap permasalahan yang menghambat akses publik terhadapnya."
Sebagai tindak lanjut atas insiden tersebut, KKP telah memanggil enam pengelola penginapan mewah di Labuan Bajo, termasuk pengelola resort yang memicu kontroversi. Pemanggilan ini bukan semata-mata untuk investigasi, melainkan juga sebagai upaya sosialisasi yang lebih intensif mengenai ketentuan dan kewajiban yang melekat pada KKPRL. Tujuannya adalah untuk mencegah terulangnya praktik privatisasi ruang laut dan memastikan agar izin yang diberikan tidak disalahgunakan.
Direktur Pengendalian Pemanfaatan Ruang Laut, Ditjen Penataan Ruang Laut KKP, Fajar Kurniawan, menjelaskan bahwa keenam penginapan tersebut telah mengantongi KKPRL. Namun, Fajar menekankan bahwa kepemilikan KKPRL bukanlah jaminan untuk membatasi akses publik. "KKPRL merupakan izin dasar, bukan izin untuk menguasai wilayah," jelasnya. "Setelah mendapatkan KKPRL, terdapat setidaknya 16 kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pemegang izin."
Kewajiban tersebut, antara lain, memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat sekitar, memberikan akses bagi nelayan lokal yang telah lama beroperasi di wilayah tersebut, menghormati kepentingan pihak lain yang memanfaatkan ruang laut di sekitarnya, mencegah terjadinya konflik sosial, dan menyampaikan laporan tahunan terkait kegiatan usaha yang dilakukan. "Kewajiban-kewajiban ini sangat penting untuk memastikan kegiatan di ruang laut tidak menimbulkan konflik sosial dan tidak merusak ekosistem kelautan dan perikanan," tegas Fajar.
KKP menyadari bahwa kegiatan usaha di wilayah pesisir memiliki potensi besar untuk meningkatkan perekonomian daerah dan menciptakan lapangan kerja baru. Namun, peningkatan ekonomi tersebut tidak boleh diraih dengan mengorbankan akses publik terhadap pantai dan laut. Oleh karena itu, KKP mengimbau masyarakat untuk menghargai pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya secara legal dan bertanggung jawab, serta mematuhi ketentuan yang berlaku. Sebaliknya, KKP juga mengingatkan pelaku usaha untuk senantiasa menghormati hak-hak masyarakat dan menjalankan kewajiban yang tertera dalam KKPRL.
Lebih lanjut, Fajar Kurniawan menambahkan bahwa KKP berkomitmen untuk menindak tegas setiap pelanggaran yang terkait dengan privatisasi pantai dan penyalahgunaan KKPRL. Tim pengawas KKP akan terus memantau dan menindak tegas setiap kegiatan yang melanggar peraturan yang berlaku. "Bagi pelaku usaha yang belum mengantongi KKPRL, kami ingatkan kembali bahwa beroperasi di ruang laut tanpa izin adalah tindakan ilegal dan akan dikenai sanksi," tegasnya.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono telah secara tegas mengimbau seluruh pihak yang ingin memanfaatkan ruang laut untuk terlebih dahulu mengurus izin KKPRL. Hal ini merupakan langkah preventif untuk mencegah terjadinya konflik dan memastikan pemanfaatan ruang laut dilakukan secara tertib dan berkelanjutan. Trenggono menekankan bahwa KKP berkomitmen untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan serta hak akses publik terhadap sumber daya laut.
Kasus Pantai Binongko menjadi pembelajaran penting bagi semua pihak. KKP berharap kejadian serupa tidak terulang kembali. Dengan ditegaskannya kembali larangan privatisasi pantai dan sosialisasi yang intensif mengenai kewajiban pemegang KKPRL, KKP optimistis dapat menjaga akses publik terhadap ruang laut, mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di wilayah pesisir, dan melindungi kekayaan sumber daya kelautan Indonesia untuk generasi mendatang. KKP mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja sama menjaga kelestarian laut dan memastikan akses publik tetap terjamin. Transparansi dan kepatuhan terhadap peraturan menjadi kunci keberhasilan dalam pengelolaan ruang laut yang adil dan berkelanjutan. Langkah tegas KKP ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam menjaga akses publik terhadap wilayah pesisir dan mencegah terjadinya privatisasi pantai.