Rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk menaikkan tarif impor produk farmasi telah memicu gelombang keprihatinan yang meluas di kalangan produsen obat generik dan pakar kesehatan. Langkah kontroversial ini dikhawatirkan akan memicu krisis obat di AS, ditandai dengan kekurangan pasokan dan lonjakan harga yang signifikan, berdampak langsung pada aksesibilitas perawatan kesehatan bagi jutaan warga Amerika.
Industri obat generik di AS telah berjuang menghadapi persaingan ketat dan margin keuntungan yang tipis dalam beberapa tahun terakhir. Penerapan tarif impor tambahan, seperti yang direncanakan Trump, akan semakin membebani sektor ini, mengancam keberlangsungan usaha dan kemampuan mereka untuk memasok obat-obatan esensial ke pasar AS. John Murphy III, CEO Association for Accessible Medicines (AAM), sebuah kelompok perdagangan yang mewakili produsen obat generik dan biosimilar, memperingatkan potensi dampak buruk kebijakan tersebut. "Akan ada perusahaan yang menghadapi prospek keuangan sangat buruk. Mereka mungkin tidak mampu lagi memasok produk ke AS, dan ini akan memperparah kekhawatiran akan kekurangan obat yang sudah kita hadapi," tegas Murphy dalam wawancara dengan CNN pada Rabu, 16 April 2025.
Kekhawatiran Murphy bukanlah tanpa dasar. Data dari American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) menunjukkan bahwa saat ini terdapat 270 jenis obat yang mengalami kekurangan pasokan di AS. Kekurangan antibiotik, khususnya, menjadi masalah utama yang semakin mendesak. Angka ini, meskipun telah menurun dari rekor tertinggi 323 jenis obat pada awal tahun 2024, tetap menunjukkan kerentanan sistem pasokan obat di negara adidaya tersebut.
Rena Conti, profesor madya di Sekolah Bisnis Questrom, Universitas Boston, menjelaskan kerentanan tersebut lebih lanjut. "Sekitar 40% obat generik hanya diproduksi oleh satu atau dua perusahaan untuk bahan bakunya. Ini menciptakan rantai pasokan yang sangat rapuh," ujar Conti. Ia menekankan bahwa jika satu produsen saja menghentikan produksi, akan sangat sulit untuk mendapatkan obat tersebut, menimbulkan tantangan besar bagi apotek dan rumah sakit. Lebih lanjut, jika banyak produsen menarik diri dari pasar AS akibat tarif baru, harga obat akan melonjak drastis.
Konsekuensi dari krisis obat ini akan sangat terasa bagi pasien. Kesulitan mendapatkan obat resep akan menjadi hal yang umum, meskipun apotek biasanya memiliki stok cadangan untuk mengantisipasi fluktuasi pasokan. Namun, keterbatasan stok dan kenaikan harga akan secara signifikan membatasi akses pasien terhadap pengobatan yang dibutuhkan. Arthur Wong, direktur pelaksana praktik perawatan kesehatan AS di S&P Global, menyoroti dampak langsung pada konsumen. "Rasa sakit pada akhirnya akan ditanggung oleh konsumen, oleh pasien," kata Wong, menekankan bahwa beban ekonomi dan kesehatan akan jatuh pada pundak masyarakat.
Dampaknya akan semakin terasa mengingat obat generik mencakup sekitar 90% dari total resep obat di AS. Artinya, kenaikan harga dan kekurangan pasokan akan berdampak pada sebagian besar populasi, tanpa memandang status sosial ekonomi. Kelompok rentan, seperti lansia dan masyarakat berpenghasilan rendah, akan menjadi yang paling terdampak, karena mereka seringkali bergantung pada obat generik yang terjangkau untuk mengelola kondisi kesehatan kronis mereka.
Selain dampak ekonomi langsung, krisis obat juga berpotensi menimbulkan konsekuensi kesehatan masyarakat yang serius. Keterbatasan akses terhadap antibiotik, misalnya, dapat meningkatkan risiko infeksi bakteri yang resisten terhadap obat, yang dapat menyebabkan komplikasi serius dan bahkan kematian. Kekurangan obat-obatan esensial lainnya juga dapat memperburuk kondisi kesehatan kronis yang sudah ada, meningkatkan angka rawat inap dan beban pada sistem perawatan kesehatan secara keseluruhan.
Kebijakan tarif Trump, yang awalnya mungkin ditujukan untuk melindungi industri farmasi domestik, justru berpotensi menimbulkan kerusakan yang jauh lebih besar. Alih-alih menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan produksi dalam negeri, kebijakan ini justru dapat mengganggu rantai pasokan global, mengurangi persaingan, dan akhirnya meningkatkan harga obat bagi konsumen. Para ahli memperingatkan bahwa konsekuensi jangka panjang dari kebijakan ini dapat jauh lebih merugikan daripada manfaat yang dijanjikan.
Langkah ini juga menimbulkan pertanyaan tentang prioritas pemerintahan Trump dalam hal aksesibilitas perawatan kesehatan. Di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang biaya perawatan kesehatan yang tinggi dan akses yang terbatas, kebijakan ini justru memperburuk situasi yang sudah ada. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang pertimbangan politik dan ekonomi di balik keputusan tersebut, serta apakah manfaatnya sebanding dengan risiko yang ditimbulkan.
Kesimpulannya, rencana Trump untuk menaikkan tarif impor produk farmasi menimbulkan ancaman serius terhadap sistem perawatan kesehatan di AS. Potensi kekurangan obat, kenaikan harga yang signifikan, dan dampak kesehatan masyarakat yang luas menjadi perhatian utama. Kebijakan ini menuntut evaluasi yang cermat dan pertimbangan yang matang, mengingat potensi konsekuensi yang merugikan bagi jutaan warga Amerika. Perdebatan mengenai kebijakan ini harus mempertimbangkan kepentingan publik dan kesehatan masyarakat di atas kepentingan ekonomi sektoral. Langkah-langkah alternatif yang dapat mendukung industri farmasi domestik tanpa mengorbankan aksesibilitas obat bagi masyarakat luas perlu dipertimbangkan secara serius.