Pemerintah Presiden Prabowo Subianto tengah gencar mendorong pengembangan energi nuklir di Indonesia, menargetkan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama pada tahun 2032. Target ambisius ini, tertuang dalam rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) dan Rencana Umum Kelistrikan Nasional (RUKN), menimbulkan pertanyaan krusial: seberapa realistiskah pencapaian target tersebut mengingat kompleksitas dan jangka waktu pembangunan PLTN?
Analisis mendalam terhadap proses implementasi PLTN, berdasarkan praktik internasional dan regulasi di Indonesia, menunjukkan keraguan serius terhadap realisasi target 2032. Jarak waktu tujuh tahun hingga 2032 terlampau singkat jika dibandingkan dengan kompleksitas tahapan pembangunan PLTN, yang secara umum membutuhkan waktu jauh lebih lama.
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir menjadi acuan utama. Regulasi ini mensyaratkan penggunaan teknologi reaktor yang telah teruji (proven technology). Meskipun beberapa pihak menunjuk pada teknologi reaktor modular kecil (Small Modular Reactors/SMR) sebagai solusi untuk mempercepat konstruksi (3-5 tahun), kenyataannya, SMR, khususnya yang berbasis darat (land-based), belum sepenuhnya memenuhi kriteria teknologi teruji di Indonesia. Ketersediaan desain SMR yang siap implementasi dalam waktu dekat juga masih sangat terbatas.
Untuk memahami tantangan ini, mari kita uraikan secara rinci tahapan pembangunan PLTN dan estimasi waktu yang dibutuhkan:
1. Evaluasi Tapak dan Persetujuan Desain (1-3 Tahun):
Tahap ini merupakan fondasi proyek. Sebelum evaluasi tapak dimulai, persetujuan dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) mutlak diperlukan. Proses ini meliputi penilaian kelayakan tapak dan persetujuan desain reaktor, baik desain dasar (basic design) maupun desain rinci (detailed design). Persetujuan desain umumnya baru diberikan setelah kontrak pengadaan (procurement) dengan vendor ditandatangani. Proses ini, mempertimbangkan berbagai aspek teknis dan administratif, dapat memakan waktu antara satu hingga tiga tahun.
2. Konstruksi (5-8 Tahun):
Setelah izin konstruksi dari BAPETEN (yang membutuhkan waktu 1-2 tahun untuk proses review dan persetujuan), konstruksi reaktor dimulai. Jangka waktu konstruksi sangat bervariasi, bergantung pada jenis dan kapasitas reaktor. Reaktor konvensional berkapasitas besar membutuhkan waktu konstruksi yang lebih lama (5-8 tahun), sementara SMR menawarkan potensi percepatan. Namun, kendala regulasi terkait teknologi teruji di Indonesia membatasi penggunaan SMR secara luas. Perlambatan konstruksi akibat kendala teknis atau non-teknis juga merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan.
3. Komisioning (Uji Fungsi Sistem) (3-12 Bulan):
Sebelum beroperasi, PLTN harus melalui proses komisioning yang ketat. Tahap ini meliputi pengujian menyeluruh terhadap semua sistem dan komponen pada kondisi suhu dan tekanan rendah (komisioning dingin) dan tinggi (komisioning panas), tanpa bahan bakar nuklir. Proses ini memastikan keamanan dan keandalan operasional PLTN. Jangka waktu komisioning bervariasi, bergantung pada kompleksitas reaktor dan proses regulasi.
4. Uji Kritikalitas Awal dan Uji Daya Rendah (1-3 Bulan):
Setelah komisioning, uji kritikalitas awal (pengujian reaksi berantai nuklir) dan uji daya rendah dilakukan sebelum reaktor beroperasi penuh. Tahap ini memastikan kesiapan reaktor untuk menghasilkan energi listrik secara optimal dan aman.
Kesimpulan Jangka Waktu:
Menghitung keseluruhan tahapan di atas, waktu minimum yang dibutuhkan untuk membangun dan mengoperasikan PLTN pertama di Indonesia diperkirakan 8-12 tahun. Ini belum memperhitungkan potensi keterlambatan akibat berbagai faktor eksternal, seperti kendala bisnis, negosiasi internasional dengan vendor, kesiapan infrastruktur pendukung, dan kondisi ekonomi-politik dalam negeri.
Realitas Target 2032:
Dengan mempertimbangkan seluruh faktor di atas, target operasional PLTN pada tahun 2032 tampak sangat tidak realistis. Jarak waktu tujuh tahun yang tersedia jauh lebih pendek dari estimasi waktu minimum pembangunan PLTN. Meskipun optimisme dan dukungan pemerintah sangat penting, realisme dan perencanaan yang matang harus menjadi landasan utama.
Rekomendasi:
Pemerintah perlu melakukan evaluasi ulang terhadap target 2032. Transparansi dan keterbukaan informasi kepada publik mengenai proses dan tantangan pembangunan PLTN sangat krusial. Kerjasama yang erat antara pemerintah, BAPETEN, dan para ahli teknologi nuklir diperlukan untuk merumuskan strategi yang lebih realistis dan terukur, menyesuaikan target dengan kemampuan dan kendala yang ada. Program PLTN, meski ambisius, harus didasarkan pada perencanaan yang matang dan realistis untuk memastikan keberhasilan dan keamanan proyek ini bagi masa depan Indonesia. Keberhasilan PLTN Indonesia bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga soal keselamatan dan keberlanjutan.