Jakarta, 15 April 2025 – Ambisi pemerintah untuk mencapai swasembada garam nasional pada tahun 2027, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional, dihadapkan pada realita kompleks di lapangan. Ketua Bidang Industri Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Adhi Lukman, menegaskan bahwa penghentian impor garam untuk industri, khususnya sektor pangan, merupakan langkah yang sulit diwujudkan dalam waktu dekat. Pernyataan ini disampaikan Adhi seusai pertemuan di Ayana Midplaza Jakarta, Senin malam (14/4/2025).
Adhi menjelaskan bahwa kendala utama terletak pada belum memadainya produksi garam dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan industri. Meskipun Apindo mendukung penuh upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi garam domestik, kenyataannya kapasitas produksi saat ini masih jauh dari angka yang dibutuhkan. "Kami sudah melakukan koordinasi dengan PT Garam dan produsen lainnya. Ketersediaan garam masih belum mencukupi, baik dari segi kuantitas maupun spesifikasi yang dibutuhkan industri makanan dan minuman," tegas Adhi.
Ia memberikan contoh perbedaan kebutuhan garam. "Untuk penggaraman ikan asin atau pembuatan kecap, garam lokal mungkin masih bisa memenuhi kebutuhan. Namun, untuk produk-produk yang membutuhkan garam dalam bentuk bubuk atau kering, produksi dalam negeri masih belum mampu menyaingi impor," jelasnya. Hal ini menyoroti disparitas antara jenis garam yang diproduksi dalam negeri dengan kebutuhan industri yang lebih spesifik dan bernilai tambah tinggi.
Lebih lanjut, Adhi menekankan kerentanan produksi garam terhadap faktor alam. "Pernah terjadi penurunan produksi hingga di bawah 100 ribu ton dalam satu tahun. Padahal, kebutuhan garam nasional, termasuk untuk industri alkali dan klorida, mencapai hampir 4 juta ton. Bayangkan jika impor dilarang sementara produksi hanya mencapai angka tersebut," ujarnya, menggambarkan betapa kritisnya ketergantungan pada impor dalam konteks kebutuhan industri yang masif.
Oleh karena itu, Apindo berharap pemerintah memberikan fleksibilitas dalam kebijakan impor garam. "Kami meminta adanya relaksasi impor untuk kondisi-kondisi tertentu di mana ketersediaan dalam negeri tidak mencukupi. Pemerintah perlu bijak dalam memberikan izin impor sebagai solusi sementara," imbuh Adhi. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Apindo menyadari pentingnya swasembada garam, namun juga menekankan realitas keterbatasan produksi dalam negeri yang perlu dipertimbangkan.
Apindo telah melakukan komunikasi intensif dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk membahas hal ini sebagai tindak lanjut dari Perpres Nomor 17 Tahun 2025. Dalam komunikasi tersebut, Apindo menekankan pentingnya mekanisme relaksasi impor sebagai jaring pengaman untuk menjaga stabilitas pasokan dan mencegah gangguan pada sektor industri yang bergantung pada garam.
Perpres Nomor 17 Tahun 2025 yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 27 Maret 2025 memang memiliki target ambisius untuk mencapai swasembada garam pada tahun 2027. Perpres ini menekankan pembangunan pergaraman nasional secara terpadu dan berkesinambungan. Namun, realisasi target tersebut tergantung pada berbagai faktor, termasuk peningkatan kapasitas produksi, peningkatan kualitas garam, dan penyesuaian antara kebutuhan industri dengan kemampuan produksi dalam negeri.
Pasal 3 Perpres tersebut merinci 13 jenis kebutuhan garam nasional, menunjukkan luasnya cakupan penggunaan garam dalam berbagai sektor industri. Mulai dari garam konsumsi untuk rumah tangga hingga garam untuk industri yang lebih spesifik seperti penyamakan kulit, water treatment, pakan ternak, tekstil, pengeboran minyak, kosmetik, farmasi, dan kimia (chlor alkali). Keberagaman kebutuhan ini semakin memperumit upaya untuk mencapai swasembada garam dalam waktu singkat.
Tantangan untuk mencapai swasembada garam tidak hanya terletak pada peningkatan kuantitas produksi, tetapi juga pada kualitas garam yang sesuai dengan spesifikasi industri. Banyak industri membutuhkan garam dengan tingkat kemurnian dan karakteristik tertentu yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Hal ini membutuhkan investasi dan inovasi teknologi dalam proses produksi garam agar dapat memenuhi standar kualitas yang dibutuhkan industri.
Pemerintah perlu merumuskan strategi yang komprehensif dan terukur untuk mencapai swasembada garam. Strategi tersebut harus mencakup peningkatan kapasitas produksi, peningkatan kualitas garam, pengembangan teknologi, dan dukungan bagi para petani garam. Selain itu, perlu adanya transparansi dan koordinasi yang baik antara pemerintah, industri, dan petani garam untuk memastikan keberhasilan program swasembada garam.
Kesimpulannya, pernyataan Adhi Lukman dari Apindo menunjukkan adanya kesenjangan antara target ambisius pemerintah dan realitas di lapangan. Meskipun mendukung upaya swasembada garam, Apindo menekankan pentingnya fleksibilitas dalam kebijakan impor sebagai langkah sementara untuk memenuhi kebutuhan industri yang belum dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Pemerintah perlu mempertimbangkan aspek ini dan merumuskan strategi yang lebih komprehensif dan realistis untuk mencapai swasembada garam tanpa mengorbankan kelancaran operasional sektor industri yang vital. Tantangan ke depan bukan hanya soal kuantitas, tetapi juga kualitas dan spesifikasi garam yang dibutuhkan oleh beragam industri di Indonesia.