Jakarta, 15 April 2025 – Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih, yang membatasi penggunaan plastik, khususnya Air Minuman Dalam Kemasan (AMDK) berukuran kurang dari 1 liter, menuai kontroversi dan kecaman luas. Alih-alih mengatasi masalah sampah dengan pendekatan holistik, kebijakan ini dinilai justru mengancam perekonomian rakyat Bali dan sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung daerah tersebut.
Para pelaku usaha, akademisi, dan asosiasi industri sepakat bahwa kebersihan Bali perlu dijaga, namun kebijakan pembatasan AMDK berukuran kecil dinilai keliru dan kontraproduktif. Mereka berpendapat bahwa fokus seharusnya diarahkan pada peningkatan pengelolaan sampah secara menyeluruh, bukan dengan membatasi produksi dan distribusi produk-produk tertentu yang justru menopang perekonomian lokal.
Ida Bagus Raka Suardana, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undiknas Denpasar, menjelaskan dampak langsung kebijakan ini terhadap struktur ekonomi Bali, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). "Kebijakan pelarangan produksi AMDK ukuran kecil akan menyebabkan produsen skala kecil kesulitan bertahan. Mereka harus berinvestasi ulang pada kemasan besar, sementara pangsa pasar mereka sebagian besar ada di produk berukuran kecil," tegasnya.
Hal senada disampaikan Rachmat Hidayat, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (ASPADIN). Ia memperingatkan potensi penutupan pabrik AMDK, hilangnya lapangan kerja, dan berkurangnya pendapatan negara dari pajak. "Ini efek domino yang berbahaya. Satu pabrik yang tutup akan berdampak pada sektor lain, seperti transportasi, retail, dan suplai bahan baku. Kita berbicara tentang multiplier effect yang signifikan," jelasnya.
ASPADIN dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mendesak pemerintah untuk mencontoh negara maju seperti Singapura. Singapura, dengan tingkat konsumsi plastik yang lebih tinggi dari Indonesia, mampu mengelola sampah dengan lebih efektif. Mereka menekankan pentingnya pengelolaan sampah yang berkelanjutan sebagai peluang ekonomi, bukan pembatasan yang justru merugikan.
Kebijakan pembatasan AMDK di bawah 1 liter dinilai sebagai blunder besar, mengingat lebih dari 80% AMDK yang beredar di pasaran memiliki volume kurang dari 1 liter. Penurunan permintaan akan memaksa produsen melakukan efisiensi, bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang berdampak langsung pada perekonomian rakyat dan potensi penurunan daya tarik pariwisata Bali.
Sejumlah produsen AMDK lokal di Bali kini terancam gulung tikar akibat SE tersebut. Di antaranya:
-
Safe: Perusahaan yang telah berdiri sejak 1990 ini, kini dikelola generasi kedua, menghadapi tantangan serius untuk bertahan hidup.
-
Jimbarwana: Produsen AMDK ini, yang pernah meraih penghargaan produk lokal terbaik pada 2023 dan 2024, terancam karena hanya menyediakan varian produk dengan volume 220 hingga 600 mililiter.
-
Yeh Buleleng: Direktur Utama PT Tirta Mumbul Jaya Abadi, Nyoman Arta Widnyana, mengungkapkan keberatannya, mengatakan kebijakan tersebut sangat memukul omset perusahaan yang baru pulih dari penurunan penjualan. Ia juga mempertanyakan ketidakadilan kebijakan ini, karena produk lain di minimarket yang juga menggunakan kemasan plastik tidak terkena pembatasan.
-
Ecoqua: AMDK lokal yang hanya dipasarkan di Bali dan telah mendapatkan Sertifikasi Nasional Indonesia (SNI) ini terancam bangkrut.
-
Como: Produk AMDK ini yang lebih banyak beredar dalam ukuran gelas hingga botol 1,5 liter juga terkena dampak kebijakan ini.
-
Aguri mineral: Mayoritas produk AMDK ini beredar dalam kemasan di bawah 1 liter, sehingga terdampak langsung oleh SE tersebut.
-
Nonmin: AMDK lokal ini yang hanya dipasarkan di Bali juga terhimpit dengan kebijakan ini.