Jakarta, 13 April 2025 – Kebijakan Amerika Serikat (AS) yang memberlakukan tarif tambahan pada barang impor dari puluhan negara, termasuk China, telah memicu eskalasi perang dagang yang mengkhawatirkan. Mantan Presiden Republik Indonesia keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam sebuah pidato di acara The Yudhoyono Institute di Hotel Grand Sahid, Jakarta, hari Minggu, mengingatkan dunia akan betapa rapuhnya perekonomian global dan betapa mahalnya konsekuensi dari perselisihan ekonomi antar negara. SBY menarik analogi dari pengalamannya menghadapi krisis ekonomi global tahun 2008-2009, sebuah periode yang menurutnya meninggalkan luka mendalam dan pelajaran berharga.
Mengutip pengalamannya dalam berbagai forum internasional pada masa krisis tersebut, SBY menggambarkan suasana tegang di tengah perdebatan sengit mengenai strategi mitigasi krisis. Ia mengingat sebuah diskusi di London, di mana Amerika Serikat dan Uni Eropa (UE) terpecah dalam pandangan mereka mengenai pendekatan yang tepat: deregulasi atau reformasi. "Saya masih ingat, mengapa tidak dua-duanya? Mengapa harus memilih?" kenang SBY. "Saya ingin menyampaikan, sekali terjadi guncangan ekonomi, tidak mudah untuk mengatasinya dan cost-nya sangat tinggi."
Pernyataan SBY tersebut bukan sekadar nostalgia masa lalu. Ia secara eksplisit mengaitkan situasi saat ini dengan potensi terulangnya krisis ekonomi global yang lebih parah. Eskalasi perang dagang AS-China, menurutnya, menyimpan ancaman serius terhadap pertumbuhan ekonomi global dan stabilitas sistem keuangan internasional. SBY melukiskan skenario suram yang mungkin terjadi: "Bagaimana kalau global growth menurun? Bagaimana kalau pengangguran meledak di mana-mana? Bagaimana kalau inflasi terjadi di belahan bumi dunia? Bagaimana nasib negara-negara miskin? Bagaimana kalau terjadi krisis kemanusiaan?"
Kekhawatiran SBY bukan tanpa dasar. Perang tarif yang terus meningkat berpotensi memicu inflasi global, mengganggu rantai pasokan internasional, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia. Negara-negara berkembang, yang seringkali memiliki daya tahan ekonomi yang lebih lemah, akan menjadi pihak yang paling rentan terhadap dampak negatif tersebut. Ketidakpastian ekonomi yang ditimbulkan oleh perang dagang ini dapat memicu penurunan investasi, mengurangi permintaan konsumen, dan pada akhirnya menyebabkan resesi global.
Lebih lanjut, SBY menekankan perlunya tindakan proaktif dari pemerintah Indonesia dan negara-negara lain dalam menghadapi ancaman ini. Ia mengingatkan bahwa Indonesia, dengan politik luar negeri bebas aktifnya, memiliki peran penting untuk dimainkan dalam meredakan ketegangan dan mencari solusi damai. "Paham, kita juga memiliki batas kemampuan, tapi why not, nice try. Untuk apa yang bisa kita lakukan menyelamatkan perekonomian dunia yang dipicu dari perang tarif dan perang dagang sekarang ini," tegas SBY. Ia menyerukan agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton pasif, tetapi aktif menyuarakan keprihatinan dan usulan solusi di forum internasional.
SBY tidak secara spesifik menjabarkan solusi yang ideal, namun ia menekankan pentingnya dialog dan kerjasama internasional. Pengalamannya selama krisis 2008-2009 menunjukkan bahwa pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan, merupakan kunci untuk mengatasi krisis ekonomi global. Ia menyiratkan bahwa pendekatan yang terlalu sempit, seperti hanya berfokus pada deregulasi atau reformasi saja, tidak akan cukup efektif. Dibutuhkan strategi yang lebih holistik yang mempertimbangkan berbagai aspek ekonomi, sosial, dan politik.
Pidato SBY ini menjadi pengingat penting bagi pemerintah Indonesia dan komunitas internasional. Perang dagang AS-China bukanlah sekadar perselisihan ekonomi bilateral; ini adalah ancaman global yang berpotensi menimbulkan konsekuensi yang sangat serius bagi seluruh dunia. Keengganan untuk mencari solusi bersama hanya akan memperburuk situasi dan memperpanjang penderitaan ekonomi yang akan dialami oleh banyak negara, terutama negara berkembang. Seruan SBY untuk diplomasi aktif dan kerjasama internasional patut dipertimbangkan dengan serius sebagai langkah preventif untuk mencegah terulangnya krisis ekonomi global yang lebih dahsyat. Indonesia, dengan pengalamannya menghadapi krisis ekonomi sebelumnya, memiliki peran penting untuk memainkan peran sebagai jembatan komunikasi dan mediator dalam menyelesaikan perselisihan ini. Kegagalan untuk bertindak secara proaktif akan berdampak buruk tidak hanya pada perekonomian Indonesia, tetapi juga pada stabilitas ekonomi global secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu adanya respon yang cepat dan terkoordinasi dari pemerintah Indonesia dan komunitas internasional untuk mencegah skenario terburuk yang diprediksi oleh SBY.