Jakarta, 13 April 2025 – Kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang ditandai dengan kenaikan tarif impor terhadap barang-barang dari puluhan negara, telah memicu kecaman internasional. Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Arrmanatha Christiawan Nasir secara tegas menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap sistem multilateral dan berbagai aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dalam sebuah pernyataan di acara The Yudhoyono Institute di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Minggu (13/4/2025), Wamenlu Arrmanatha mengecam kebijakan Trump sebagai upaya untuk melemahkan sistem perdagangan global. "Satu lagi upaya untuk merusak fondasi sistem multilateral," tegasnya. "Kebijakan Presiden Trump ini secara terang-terangan melanggar berbagai aturan WTO."
Eskalasi perang dagang yang dipicu oleh kebijakan tarif tambahan Trump telah menimbulkan ketidakpastian yang meluas di pasar internasional. Kenaikan tarif AS telah dibalas oleh sejumlah negara, termasuk China yang menerapkan tarif impor hingga 125% untuk barang-barang AS sebagai respons atas tarif 145% yang dijatuhkan Trump. Situasi ini semakin memperburuk tensi perdagangan global.
Di kawasan ASEAN, dampak kebijakan Trump juga terasa signifikan. Beberapa negara anggota ASEAN mengalami peningkatan tarif impor yang signifikan dari AS. Kamboja menghadapi kenaikan tarif sebesar 49%, Vietnam 46%, Thailand 36%, Indonesia 32%, dan Malaysia 24%. Meskipun demikian, Wamenlu Arrmanatha mencatat sebuah fenomena yang menarik. "Tidak ada negara yang berniat untuk membawa Amerika Serikat ke WTO, kecuali China, Kanada, dan Uni Eropa," ujarnya. "Justru negara-negara lain lebih memilih untuk memberikan kelonggaran kepada Donald Trump agar tidak dikenakan tarif yang jelas-jelas melanggar aturan WTO."
Pernyataan Wamenlu tersebut menyoroti dilema yang dihadapi negara-negara di tengah dominasi kekuatan ekonomi AS. Di satu sisi, mereka menghadapi kerugian ekonomi akibat kebijakan proteksionis Trump. Di sisi lain, mereka enggan untuk mengambil langkah hukum melalui WTO, mungkin karena mempertimbangkan konsekuensi politik dan ekonomi yang lebih luas.
Lebih jauh, Arrmanatha menilai bahwa sistem multilateral saat ini tengah mengalami krisis dalam menjaga stabilitas global, sebuah komitmen yang seharusnya dipegang teguh sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua. "Liga Bangsa-Bangsa yang dibentuk setelah Perang Dunia Pertama bertujuan untuk mencegah perang dunia berikutnya, namun gagal dan berujung pada Perang Dunia Kedua," katanya. "Kita tidak ingin sejarah ini terulang."
Wamenlu juga menyoroti temuan Global Risk Report World Economic Forum 2025, yang menunjukkan bahwa ancaman terhadap stabilitas global semakin kompleks dan saling berkaitan. Ancaman tersebut meliputi geo-ekonomi, resesi, stagnansi ekonomi, inflasi, pengangguran, perubahan iklim, dan krisis pangan. Selain itu, kemajuan teknologi juga menimbulkan tantangan baru, seperti penyebaran informasi yang bias dan polarisasi sosial. Konflik bersenjata pun semakin meningkat dengan beberapa negara yang mulai mengembangkan senjata nuklir.
Di tingkat ASEAN, perubahan iklim menempati posisi teratas sebagai ancaman utama bagi stabilitas regional, diikuti oleh persaingan ekonomi antara negara-negara besar. "Mayoritas ancaman terhadap stabilitas dunia di masa depan tidak hanya bersumber dari konflik bersenjata," pungkas Arrmanatha.
Kesimpulannya, kebijakan proteksionis Trump tidak hanya melanggar aturan WTO, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian dan mengancam stabilitas global. Perang dagang yang dipicunya telah memperburuk situasi ekonomi internasional dan menimbulkan dilema bagi negara-negara yang enggan untuk konfrontasi langsung dengan AS. Ancaman terhadap stabilitas global saat ini bersifat multidimensi, mencakup isu ekonomi, teknologi, lingkungan, dan keamanan, yang membutuhkan kerjasama internasional yang lebih kuat untuk diatasi. Pernyataan Wamenlu Arrmanatha menjadi pengingat penting akan perlunya reformasi sistem multilateral dan kerjasama global yang lebih efektif untuk menghadapi tantangan kompleks di era globalisasi yang penuh ketidakpastian ini. Keengganan sebagian besar negara untuk membawa AS ke WTO juga menunjukkan kompleksitas dan sensitivitas hubungan internasional, di mana pertimbangan politik dan ekonomi seringkali mengalahkan upaya penegakan aturan internasional. Hal ini menuntut strategi yang lebih cerdas dan terkoordinasi dari negara-negara untuk menghadapi proteksionisme dan menjaga stabilitas ekonomi global.