Jakarta, 10 April 2025 – Karangan bunga, simbol ungkapan suka cita maupun duka, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Di balik keindahan rangkaian bunga yang menghiasi berbagai momen penting, tersimpan kisah lika-liku para perajinnya. Irwan Yusuf, misalnya, telah 32 tahun mengabdikan diri dalam bisnis ini, menyaksikan pasang surutnya industri yang kini dihadapkan pada persaingan yang semakin ketat.
Kisah Irwan bermula pada tahun 1993, ketika ia merantau ke Jakarta tanpa bekal pengalaman. Tebet Barat, kawasan yang kala itu menjadi pusat bisnis karangan bunga, menjadi saksi bisu perjalanan kariernya. Ia memulai dari nol, belajar otodidak dengan mengamati para perajin senior. "Saya datang ke Jakarta tahun 1993 diajak teman. Nganggur waktu itu, ya ikut saja. Tak ada pengalaman, jadi otodidak dari nol. Melihat orang kerja. Dulu kan bunga banyak, peminatnya banyak, harganya murah," kenang Irwan kepada detikcom di Ira Florist, Tebet, Jakarta.
Pada masa awal, bisnis karangan bunga menawarkan margin keuntungan yang menggiurkan. Irwan menjelaskan, modal produksi hanya 30% dari harga jual, sehingga keuntungan mencapai 70%. Bahan baku yang terjangkau dan tingginya permintaan menjadi kunci kesuksesan. Keahliannya yang terus diasah membawanya terbang ke Arab Saudi pada tahun 1999. Negara tersebut, yang dikenal dengan kecintaannya pada bunga, menjadi lahan subur bagi keahlian Irwan. Ia menghabiskan empat tahun di sana, bahkan sempat memperpanjang visa, sebelum akhirnya kembali ke Indonesia setelah menunaikan ibadah haji.
"Alhamdulillah, saya kerja di Arab juga masih di bidang bunga tahun 1999. Ada tawaran kerja di luar, apalagi di sana, di kampungnya saja bunga sudah kaya apa. Jadi saya kerja, pengen adu nasib, cari pengalaman di sana. Dapat empat tahun, tapi dua kali pulang. Di sana, kalau kita sudah dipercaya, nggak boleh pulang, suruh diperpanjang terus," ujar Irwan.
Kembali ke tanah air, Irwan meneruskan usaha kios bunga milik mertuanya pada tahun 2004. Masa-masa awal berjalan mulus, namun pandemi COVID-19 menjadi pukulan telak bagi bisnisnya. Penghentian berbagai kegiatan, seperti pernikahan dan peresmian, yang selama ini menjadi sumber pemasukan utama, memaksa Irwan hidup dari tabungan yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun. Situasi diperparah dengan investasi kripto yang merugi.
Pandemi memaksa Irwan untuk beradaptasi. Ia mengajukan Kredit Usaha Rakyat (KUR) di BRI Unit Tebet Barat untuk modal usaha. "Sekitar habis COVID-19, karena ekonomi hancur, ya ngajuin KUR buat modal. Sebelum itu saya pernah pinjam di bank lain, cuma bunganya gede. Kalau UMKM di BRI kan bunganya kecil, jadi saya langsung ke kantor BRI nanyain ada KUR apa nggak," jelasnya.
Dana KUR sebesar Rp 20 juta menjadi modal awal kebangkitan usaha Irwan. Meskipun pesanan belum sebanyak sebelum pandemi, setidaknya ia memiliki pondasi untuk kembali beroperasi. "Rp 20 juta buat modal usaha, beli bunga, buat apa saja. Setelah dapat KUR, pemesanan sudah lumayan ada lagi, pemasukan ada lagi yang pesan, cuma nggak sebanyak yang sebelum COVID-19. Nanjak-nanjak (pesanan), tapi ada masalah, kaya mau tahun baru gitu, turun lagi, cuma ya lumayan buat pondasi," kata Irwan.
Namun, jalan menuju kesuksesan kembali tidak mudah. Persaingan bisnis karangan bunga di Jakarta semakin ketat. Munculnya banyak kios bunga di berbagai lokasi, berbeda dengan masa lalu yang hanya terpusat di beberapa titik seperti Barito, Tebet, Cikini, dan Rawa Belong (sebagai sentra bahan baku), menciptakan perang harga. Kemudahan akses bahan baku juga memungkinkan siapa pun untuk memulai usaha ini, bahkan dari rumah.
Toko online semakin memperparah situasi. Karangan bunga dengan harga mulai Rp 300.000,- membuat toko-toko seperti Ira Florist yang mematok harga mulai Rp 500.000,- tertekan. "Jualan di online mereka kecil banget harganya, Rp 300.000-400.000 ada. Jadi nggak masuk juga dengan harga kita. Mungkin karena mereka punya transportasi sendiri dan rumahan, jadi bisa ambil untung tipis, tapi kalau kita udah nggak masuk, udah nggak kebagian untungnya," ungkap Irwan.
Padahal, di masa jayanya, Irwan mampu meraup omzet hingga Rp 40 juta per bulan, mempekerjakan lima karyawan. Pembuatan satu papan bunga saja membutuhkan waktu dua jam karena pengerjaan huruf dilakukan secara manual. Surya, salah satu karyawan Irwan yang masih bertahan, menjelaskan proses pembuatan papan bunga di era 90-an yang sepenuhnya manual, berbeda dengan saat ini yang dibantu mesin sehingga waktu pengerjaan bisa dipangkas menjadi satu jam.
"Sebelum pakai alat, kita pakai cutter manual dan memakan waktu. Semakin ke sini mengejar waktu. Kalau dulu bikin papan ini sampai 4 jam dengan 3 orang, saat ini 1 jam harus dikejar karena sudah ada teknologi yang canggih," kata Surya.
Efisiensi teknologi memang meningkatkan produktivitas, namun juga meningkatkan persaingan. Keuntungan yang tipis memaksa para perajin untuk mengejar kuantitas pesanan. "Jadi sekarang pembuatan efisien dan simpel, tapi sekarang kuantiti dikejar, harga dijatuhin. Kalau dulu kita dapat order bunga papan 10 sudah bagus, kalau sekarang harus lebih," tambah Surya.
Sebagai upaya untuk menghadapi tantangan ini, para pedagang bunga papan membentuk Florist Indonesia Community (FIC). Paguyuban ini bertujuan untuk saling berbagi pengetahuan dan strategi, bahkan membuka peluang orderan lintas daerah. Keberadaan FIC menjadi bukti adaptasi dan inovasi para perajin bunga dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin dinamis.
Kisah Irwan dan Surya merepresentasikan perjalanan panjang industri karangan bunga di Jakarta. Dari bisnis yang menguntungkan di masa lalu hingga persaingan ketat di era modern, mereka terus berjuang untuk mempertahankan eksistensi dan kreativitas dalam menciptakan keindahan rangkaian bunga yang menemani berbagai momen penting dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan mereka, dan para perajin lainnya, menunjukkan bahwa di balik setiap rangkaian bunga yang indah, tersimpan dedikasi, kreativitas, dan perjuangan yang tak kenal lelah.