Jakarta, 11 April 2025 – Ancaman tarif impor sebesar 32% yang dilayangkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Indonesia, meskipun saat ini ditangguhkan sementara selama 90 hari, tetap menjadi perhatian serius pemerintah. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa kebijakan proteksionis Trump tersebut dilatarbelakangi oleh upaya menyeimbangkan neraca perdagangan AS, yang menunjukkan surplus signifikan Indonesia terhadap AS mencapai US$ 14-15 miliar berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Kondisi ini, menurut Bahlil, mengharuskan Indonesia mengambil langkah komprehensif untuk mencegah pemberlakuan tarif impor yang berpotensi merugikan perekonomian nasional.
"Surplus perdagangan kita yang cukup besar dengan AS menjadi pemicu kebijakan tarif impor ini. Oleh karena itu, kita perlu strategi yang tepat untuk menyeimbangkan neraca perdagangan tersebut dan menghindari dampak negatif dari tarif 32%," tegas Bahlil saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat.
Langkah strategis yang tengah digodok pemerintah, menurut Bahlil, berfokus pada peningkatan impor Liquified Petroleum Gas (LPG) dan minyak mentah dari Amerika Serikat. Kementerian ESDM saat ini tengah melakukan perhitungan yang cermat, mempertimbangkan aspek ekonomi dan dampaknya terhadap neraca perdagangan.
"Di sektor ESDM, kita akan fokus meningkatkan impor LPG dan minyak dari AS. Tim saya sedang melakukan kajian mendalam untuk memastikan pembelian tersebut efektif dalam menyeimbangkan neraca perdagangan tanpa mengorbankan kepentingan ekonomi domestik," jelas Bahlil.
Langkah ini sejalan dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang sebelumnya menyampaikan rencana peningkatan impor LPG dan Liquified Natural Gas (LNG) dari AS sebagai respons langsung atas kebijakan tarif timbal balik Trump. Arahan Presiden Prabowo Subianto, menurut Airlangga, menjadi landasan utama kebijakan ini.
"Peningkatan impor LPG dan LNG dari AS merupakan arahan langsung dari Presiden. Ini merupakan bagian dari strategi kita untuk merespon kebijakan tarif impor AS," ungkap Airlangga dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4).
Yang perlu ditekankan, lanjut Airlangga, peningkatan impor ini bukanlah penambahan volume impor secara keseluruhan, melainkan pergeseran atau realokasi sumber impor. Indonesia akan mengalihkan sebagian impor LPG dan LNG dari negara lain ke AS, tanpa menambah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Strategi ini menekankan pada realokasi, bukan penambahan. Kita akan menggeser sumber impor dari negara lain ke AS, sehingga tidak akan menambah beban APBN," tegas Airlangga.
Kebijakan ini, meskipun terkesan sebagai langkah reaktif terhadap tekanan AS, menunjukkan pendekatan yang terukur dan strategis dari pemerintah Indonesia. Alih-alih berkonfrontasi secara langsung dengan kebijakan proteksionis Trump, pemerintah memilih pendekatan diplomasi ekonomi yang lebih halus, yakni dengan memanipulasi neraca perdagangan melalui peningkatan impor komoditas tertentu dari AS.
Namun, strategi ini juga menyimpan potensi risiko. Peningkatan impor LPG dan minyak dari AS, meskipun tidak menambah volume impor secara keseluruhan, tetap berpotensi meningkatkan harga jual LPG dan BBM di dalam negeri jika tidak dikelola dengan baik. Pemerintah perlu memastikan bahwa realokasi impor ini tidak berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat dan inflasi.
Selain itu, keberhasilan strategi ini juga bergantung pada beberapa faktor, termasuk negosiasi harga yang menguntungkan dengan pihak AS, ketersediaan pasokan LPG dan minyak dari AS, serta kemampuan pemerintah dalam mengelola dampaknya terhadap perekonomian domestik.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan kebijakan ini juga sangat penting. Pemerintah perlu memastikan bahwa proses pengadaan LPG dan minyak dari AS dilakukan secara transparan dan bebas dari korupsi, serta mempertimbangkan dampaknya terhadap industri dalam negeri dan para pelaku usaha di sektor energi.
Secara keseluruhan, strategi Indonesia dalam menghadapi ancaman tarif impor AS 32% menunjukkan pendekatan yang pragmatis dan kalkulatif. Pemerintah memilih untuk bernegosiasi melalui jalur ekonomi, dengan memanipulasi neraca perdagangan melalui realokasi impor, daripada terlibat dalam perang dagang yang berpotensi merugikan kedua belah pihak. Namun, kesuksesan strategi ini tergantung pada kemampuan pemerintah dalam mengelola risiko dan memastikan transparansi dalam pelaksanaannya. Keberhasilannya akan menjadi tolok ukur kemampuan pemerintah dalam menavigasi kompleksitas hubungan ekonomi internasional dan melindungi kepentingan nasional. Pemantauan berkelanjutan dan evaluasi terhadap dampak kebijakan ini sangat diperlukan untuk memastikan efektivitasnya dan mencegah dampak negatif yang tidak diinginkan.