Jakarta, 5 April 2025 – Kebijakan tarif baru baja yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, memicu kekhawatiran serius bagi industri baja nasional. Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah proaktif guna mencegah membanjirnya produk baja impor ke pasar domestik, sebagai dampak lanjutan dari kebijakan proteksionis tersebut.
Ketua IISIA, M. Akbar Djohan, dalam keterangan tertulisnya hari ini, menyatakan bahwa kebijakan tarif AS berpotensi memicu negara-negara lain mengalihkan ekspor baja mereka ke pasar alternatif, termasuk Indonesia. "Dengan pasar yang besar dan daya beli masyarakat yang terus meningkat, Indonesia menjadi target empuk bagi produk baja impor," tegas Djohan. Ia menekankan pentingnya penguatan perlindungan pasar domestik untuk mencegah tergerusnya industri baja nasional akibat serbuan produk impor yang lebih murah.
Kekhawatiran IISIA bukan tanpa dasar. Potensi surplus pasokan baja global akibat kebijakan proteksionis AS berisiko menciptakan persaingan yang tidak sehat bagi produsen baja dalam negeri. Industri baja nasional, yang tengah berupaya meningkatkan daya saing dan nilai tambah produknya, akan terancam keberlangsungannya jika dibanjiri produk impor dengan harga yang jauh lebih rendah.
Lebih lanjut, Djohan menyoroti pentingnya konsistensi pemerintah dalam menjalankan kebijakan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) melalui sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). "TKDN bukan sekadar angka di atas kertas," tegasnya. "Kebijakan ini krusial untuk mendorong pemanfaatan produksi lokal, meningkatkan kemampuan industri nasional menghasilkan produk bernilai tambah tinggi yang memenuhi standar global, dan memperkuat kemandirian industri baja nasional." Konsistensi dalam implementasi TKDN, menurut Djohan, akan memberikan sinyal positif bagi pelaku industri baja dalam negeri dan menarik investasi.
Menanggapi meningkatnya perang tarif di kancah perdagangan internasional, IISIA menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan strategi tarif sebagai langkah antisipatif. Asosiasi tersebut menyatakan dukungannya terhadap kemungkinan penurunan atau bahkan penghapusan tarif impor baja dari AS, namun dengan catatan penting: perlakuan yang adil dan timbal balik bagi produk baja Indonesia di pasar AS.
"Kami tidak keberatan jika tarif baja AS dihapuskan, asalkan produk baja Indonesia juga tidak dikenai tarif tinggi di sana," tegas Djohan. "Prinsip utama hubungan dagang haruslah keseimbangan dan saling menguntungkan. Perlakuan yang tidak adil hanya akan merugikan industri baja nasional dan menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan."
Untuk melindungi pasar domestik dari potensi banjir impor, IISIA juga mengusulkan perbaikan Tata Niaga Impor Baja. Perbaikan ini bertujuan untuk mengendalikan impor secara efektif, menjamin pasokan baja dalam negeri yang stabil, dan memastikan impor hanya dilakukan jika kebutuhan tidak dapat dipenuhi oleh produsen domestik. Hal ini penting untuk mencegah dampak negatif impor terhadap industri baja nasional.
Direktur Eksekutif IISIA, Harry Warganegara, menambahkan usulan pembentukan sentral logistik baja untuk tata kelola ekosistem rantai pasok nasional yang lebih efisien dan terintegrasi. Inisiatif ini, menurut Warganegara, perlu mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan industri baja nasional. Selain itu, peningkatan kerja sama dengan negara-negara ASEAN juga dinilai penting untuk menjaga keberlanjutan ekosistem baja di tingkat regional.
Data ekspor-impor baja antara Indonesia dan AS pada tahun 2024 memberikan gambaran situasi. Indonesia mengekspor 429.300 ton produk baja ke AS, didominasi oleh produk semi-finished slab (359.500 ton) dan hot dip (CGI) (7.800 ton). Sebaliknya, impor baja dari AS ke Indonesia mencapai 27.500 ton, didominasi oleh scrap (12.700 ton) dan seamless pipes (12.100 ton).
IISIA berharap pemerintah segera mengambil langkah-langkah yang tepat dan cepat untuk melindungi industri baja nasional. Langkah-langkah tersebut harus memastikan pertumbuhan dan daya saing industri baja Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional. Kegagalan dalam merespon ancaman ini berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan dan menghambat perkembangan industri strategis ini. Perlindungan industri baja nasional bukan hanya soal melindungi perusahaan, tetapi juga soal menjaga lapangan kerja dan kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional. Oleh karena itu, respons pemerintah yang cepat, terukur, dan komprehensif sangatlah krusial.