Jakarta, 5 April 2025 – Industri keramik dalam negeri Indonesia tengah menghadapi ancaman serius berupa potensi membanjirnya impor keramik dari India, imbas kebijakan tarif bea masuk yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) menyuarakan keprihatinan mendalam terkait hal ini, mengingat India selama ini merupakan eksportir keramik terbesar ke AS. Potensi tersebut, menurut Asaki, akan berdampak negatif signifikan terhadap daya saing dan kelangsungan hidup industri keramik nasional.
Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto, dalam keterangan resminya Kamis (5/4/2025), mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah protektif guna melindungi industri dalam negeri dari ancaman pengalihan ekspor, atau yang lebih dikenal dengan istilah trade diversion. India, yang sebelumnya memasarkan sebagian besar produksinya ke AS, dikhawatirkan akan mengalihkan ekspornya ke Indonesia, memanfaatkan celah pasar yang terbuka akibat kebijakan proteksionis Trump. Kondisi ini, menurut Suyanto, akan menciptakan persaingan yang tidak sehat dan berpotensi mematikan industri keramik lokal yang telah berjuang keras untuk bertahan di tengah dinamika pasar global.
"Asaki mengharapkan atensi pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap industri dalam negeri. Ancaman ini nyata, berupa sasaran pengalihan ekspor, atau tempat pembuangan bagi produk-produk negara lain yang tidak bisa menembus pasar AS pasca diterapkan Tarif Resiprokal tersebut," tegas Suyanto. Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran yang mendalam di kalangan pelaku usaha keramik Indonesia, yang melihat potensi kerugian ekonomi yang signifikan jika pemerintah tidak segera bertindak.
Selain perlindungan, Asaki juga meminta pemerintah untuk melakukan negosiasi intensif dengan pemerintah AS terkait tarif impor. Suyanto melihat adanya peluang untuk menyeimbangkan neraca perdagangan Indonesia-AS melalui impor gas alam cair (LNG) dari AS dalam jumlah besar. Hal ini dinilai sebagai langkah strategis untuk mengurangi defisit perdagangan dan sekaligus mengatasi permasalahan yang dihadapi industri keramik dalam negeri.
"Industri Keramik Nasional saat ini mengalami gangguan pasokan gas dan harga regasifikasi yang sangat tinggi, mencapai US$ 16,77/MMBTU. Ini saatnya Indonesia membuka keran impor gas dari AS sebagai bagian dari negosiasi perdagangan," jelas Suyanto. Argumentasi ini menunjukkan bahwa Asaki tidak hanya fokus pada perlindungan sektor keramik, tetapi juga melihat permasalahan ini dalam konteks yang lebih luas, yaitu neraca perdagangan bilateral dan ketersediaan energi.
Menariknya, Asaki menyatakan kesediaannya untuk mempertimbangkan pembebasan bea masuk impor keramik dari AS, yang saat ini sebesar 5%. Suyanto menekankan bahwa industri keramik nasional memiliki daya saing yang tidak kalah dengan produk sejenis dari AS, dan selama ini tidak melakukan praktik-praktik curang seperti dumping. Sikap ini menunjukkan komitmen Asaki terhadap persaingan yang adil dan transparan, serta keyakinan akan kemampuan industri dalam negeri untuk bersaing secara sehat.
"Produk keramik nasional tidak kalah berdaya saing terhadap produk keramik buatan AS," ucapnya, menegaskan optimisme terhadap kemampuan industri dalam negeri. Pernyataan ini perlu dikaji lebih lanjut dengan data dan fakta empiris untuk memastikan validitasnya. Namun, hal ini menunjukkan kepercayaan diri Asaki terhadap kualitas dan kemampuan produk dalam negeri.
Terkait dengan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang menjadi salah satu pemicu kebijakan tarif Trump, Asaki justru menilai kebijakan tersebut perlu dipertahankan. Suyanto berpendapat bahwa sertifikasi TKDN telah terbukti efektif dalam mendorong penyerapan produk dalam negeri oleh industri keramik nasional. Hal ini menunjukkan bahwa Asaki melihat TKDN sebagai instrumen penting dalam membangun kemandirian industri dan mengurangi ketergantungan pada impor.
"Sertifikasi TKDN telah terbukti efektif membantu penyerapan produk dalam negeri bagi Industri Keramik Nasional," pungkas Suyanto. Pernyataan ini perlu diimbangi dengan data dan evaluasi yang komprehensif untuk memastikan efektivitas TKDN dan dampaknya terhadap daya saing industri. Apakah TKDN benar-benar efektif atau justru menjadi beban bagi industri, perlu dikaji lebih mendalam.
Secara keseluruhan, pernyataan Asaki mencerminkan keprihatinan yang serius terhadap potensi dampak negatif kebijakan tarif Trump terhadap industri keramik Indonesia. Ancaman banjir impor dari India menjadi tantangan nyata yang membutuhkan respon cepat dan terukur dari pemerintah. Langkah-langkah protektif, negosiasi perdagangan yang strategis, dan evaluasi kebijakan TKDN menjadi kunci untuk memastikan kelangsungan hidup dan daya saing industri keramik nasional di tengah persaingan global yang semakin ketat. Perlu kajian lebih lanjut untuk memastikan efektivitas setiap langkah yang diambil dan dampaknya terhadap seluruh stakeholder terkait. Transparansi dan keterbukaan informasi juga menjadi penting untuk membangun kepercayaan publik dan memastikan kebijakan yang diambil berpihak pada kepentingan nasional. Pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi permasalahan ini dan memastikan industri keramik Indonesia dapat tetap tumbuh dan berkembang.