Jakarta, 4 April 2025 – Bayang-bayang perlambatan ekonomi semakin nyata menjelang dan selama periode Lebaran tahun ini. Indikasi kuat terlihat dari prediksi penurunan drastis perputaran uang selama libur Idul Fitri, memicu kekhawatiran di kalangan pengusaha dan menjadi sinyal peringatan serius bagi pemerintah. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) bahkan menyebutnya sebagai "lampu kuning" yang harus segera ditangani sebelum berujung pada krisis ekonomi yang lebih besar.
Ketua Umum BPP HIPMI, Akbar Himawan Buchari, dalam keterangan tertulisnya menyampaikan keprihatinan mendalam atas tren penurunan ini. Ia menuturkan bahwa sejak awal tahun, berbagai indikator ekonomi telah menunjukkan tanda-tanda pelemahan, dan puncaknya terlihat pada momentum Lebaran yang biasanya menjadi penggerak roda perekonomian nasional. "Dari tahun ke tahun, Lebaran menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengerek ekonomi. Namun, sepertinya hal itu tak terjadi sekarang," tegas Akbar.
Data yang dihimpun dari berbagai lembaga menunjukkan gambaran yang mengkhawatirkan. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia memperkirakan penurunan perputaran uang Lebaran hingga 12,28%, dari Rp 157,3 triliun pada tahun 2024 menjadi hanya Rp 137,9 triliun di tahun ini. Proyeksi yang lebih pesimistis bahkan datang dari Center of Economic and Law Studies (Celios), yang memperkirakan tambahan Jumlah Uang Beredar (JUB) hanya mencapai Rp 114,37 triliun, turun signifikan sebesar 16,5% dibandingkan tahun 2024 yang mencapai Rp 136,97 triliun.
"Ini merupakan warning atau lampu kuning bagi pemerintah," tegas Akbar. "Jika tidak segera diatasi, pertumbuhan ekonomi 8% hanya akan menjadi isapan jempol belaka," lanjutnya dengan nada yang menekankan urgensi penanganan masalah ini.
Penurunan perputaran uang tidak berdiri sendiri. Fenomena ini berkorelasi dengan berbagai indikator ekonomi lainnya yang menunjukkan tren negatif. Salah satu yang paling mencolok adalah penurunan jumlah pemudik. Data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat total pemudik tahun ini hanya mencapai 146,48 juta orang, mengalami penurunan drastis sebesar 24% dibandingkan tahun lalu yang mencapai 193,6 juta orang. Penurunan ini berdampak signifikan terhadap sektor pariwisata, khususnya industri perhotelan.
Akbar mencontohkan penurunan okupansi hotel di Yogyakarta sebagai dampak langsung dari berkurangnya jumlah pemudik. Berdasarkan data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), okupansi hotel selama libur Lebaran turun hingga 30%. "Fenomena ini menunjukkan adanya penurunan daya beli masyarakat yang signifikan," ujar Akbar. "Saat ini, masyarakat benar-benar hati-hati membelanjakan uangnya. Ini menandakan ekonomi kita sedang tidak baik-baik saja. Sehingga perlu intervensi pemerintah," tambahnya.
Anjloknya daya beli masyarakat juga tercermin dari penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Tercatat penurunan sebesar 0,4% dari Desember 2024 ke Januari 2025. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena sejak tahun 2022, IKK selalu menunjukkan tren kenaikan di awal tahun, yang mengindikasikan optimisme konsumen terhadap perekonomian. Penurunan IKK ini menjadi indikator kuat melemahnya kepercayaan konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan.
Data pendukung lainnya yang memperkuat sinyal perlambatan ekonomi adalah penurunan angka Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Januari 2025. Angka IPR yang pada Desember 2024 mencapai 222 poin, turun menjadi 211,5 poin di Januari 2025. Penurunan ini menunjukkan penurunan aktivitas penjualan di berbagai sektor riil, yang semakin menguatkan prediksi perlambatan ekonomi.
Menanggapi situasi yang semakin mengkhawatirkan ini, HIPMI mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah konkret guna mengatasi masalah tersebut sebelum berdampak lebih luas. Akbar menekankan perlunya intervensi pemerintah yang tepat dan terukur untuk mencegah memburuknya kondisi ekonomi.
"Pemerintah harus segera turun tangan," tegas Akbar. "Caranya, dengan berbagai hal. Seperti mempercepat realisasi belanja sosial dan infrastruktur padat karya, menstabilkan harga kebutuhan pokok, dan memastikan UMKM mendapat dukungan konkret," pungkasnya. Ia menekankan pentingnya program-program yang berdampak langsung pada peningkatan daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi dari akar rumput. Kegagalan pemerintah dalam mengambil langkah cepat dan tepat, menurut Akbar, akan berakibat fatal bagi perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat. Kondisi ini bukan hanya sekadar penurunan perputaran uang Lebaran, tetapi merupakan sinyal peringatan dini akan potensi resesi ekonomi yang lebih besar jika dibiarkan tanpa penanganan yang serius dan terintegrasi.