Jakarta, 27 Maret 2025 – Pengangkatan sejumlah pejabat Kementerian sebagai komisaris di bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai sorotan publik. Menanggapi kontroversi tersebut, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, memberikan klarifikasi terkait strategi di balik kebijakan tersebut. Menurutnya, langkah ini merupakan bagian integral dari upaya peningkatan efisiensi, transparansi, dan sinergi program pemerintah dengan kebijakan perbankan BUMN.
Dalam keterangan pers di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, Kamis (27/3/2025), Erick Thohir menekankan bahwa penempatan pejabat kementerian sebagai komisaris didasarkan pada pertimbangan strategis dan disesuaikan dengan fokus bisnis masing-masing bank. Ia membantah adanya unsur nepotisme atau kepentingan pribadi di balik keputusan tersebut. "Kita lihat juga kemarin perwakilan daripada para kementerian yang hadir, tentu komposisi pemegang saham yang ada di Himbara sendiri tidak lain untuk memastikan sinergitas program pemerintah, tetapi tetap transparansi publik terus terjadi secara korporasi," tegasnya.
Lebih lanjut, Erick Thohir memberikan contoh konkret terkait penempatan pejabat kementerian tersebut. Ia menjelaskan bahwa penunjukan Wakil Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UMKM), Helvi Yuni Moraza, sebagai komisaris Bank Rakyat Indonesia (BRI) bertujuan untuk memperkuat sinergi antara program pemerintah di sektor UMKM dengan layanan perbankan BRI. Hal serupa juga berlaku untuk penunjukan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, sebagai komisaris Bank Tabungan Negara (BTN). "Kita lihat kemarin di BRI ada perwakilan dari Kementerian UMKM misalnya. Lalu kita lihat dari BTN ada perwakilan pemerintahan perumahan. Nah tidak lain ini untuk mensinergikan," jelasnya.
Erick Thohir juga menyinggung penunjukan sejumlah pejabat Kementerian Keuangan, yakni Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, sebagai Komisaris Utama BTN, dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Luky Alfirman, sebagai komisaris Bank Mandiri. Ia menegaskan bahwa penempatan pejabat-pejabat tersebut bukan tanpa pertimbangan matang dan tetap mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas. "Meskipun ada pejabat kementerian dalam jajaran komisaris Himbara, transparansi bakal tetap dijaga dengan pengawasan ketat dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan lembaga terkait lainnya," ujarnya.
Namun, pernyataan Erick Thohir tersebut belum sepenuhnya mampu meredam polemik yang berkembang di masyarakat. Kritikan muncul dari berbagai kalangan yang mempertanyakan potensi konflik kepentingan dan efektivitas penempatan pejabat pemerintah di posisi komisaris bank BUMN. Kekhawatiran akan adanya intervensi pemerintah dalam pengambilan keputusan bisnis bank dan potensi penyalahgunaan wewenang menjadi sorotan utama.
Daftar pejabat kementerian yang kini menduduki posisi komisaris di bank-bank BUMN memang cukup panjang dan memicu perdebatan publik. Selain nama-nama yang telah disebutkan sebelumnya, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia, Teknologi dan Informasi Kementerian BUMN, Tedi Bharata, juga ditunjuk sebagai Wakil Komisaris Utama Bank Negara Indonesia (BNI). Sementara itu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menduduki posisi komisaris di Bank Mandiri.
Para kritikus berpendapat bahwa pengangkatan ini berpotensi mengaburkan batas antara fungsi pemerintahan dan korporasi. Mereka khawatir akan adanya potensi intervensi pemerintah dalam operasional bank, yang dapat menghambat pengambilan keputusan yang objektif dan berorientasi pada profitabilitas. Selain itu, terdapat kekhawatiran akan terjadinya penggunaan posisi tersebut untuk kepentingan politik atau kepentingan pribadi.
Di sisi lain, pendukung kebijakan ini berargumen bahwa kehadiran pejabat pemerintah di jajaran komisaris dapat memperkuat sinergi antara program pemerintah dan operasional bank BUMN. Mereka berpendapat bahwa hal ini dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyaluran kredit kepada sektor-sektor prioritas pemerintah, seperti UMKM dan perumahan. Kehadiran perwakilan pemerintah juga dianggap dapat meningkatkan pengawasan dan transparansi dalam pengelolaan bank BUMN.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah bagaimana memastikan keseimbangan antara sinergi program pemerintah dengan prinsip good corporate governance dan independensi operasional bank BUMN. Mekanisme pengawasan yang ketat dan transparan menjadi kunci untuk mencegah potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Peran Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan lembaga pengawas lainnya sangat krusial dalam memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam pengambilan keputusan di bank-bank BUMN.
Ke depan, transparansi dan akuntabilitas dalam pengangkatan dan kinerja komisaris dari kalangan pejabat pemerintah perlu ditingkatkan. Mekanisme seleksi yang lebih ketat dan transparan, serta pengungkapan secara detail mengenai peran dan tanggung jawab mereka, sangat penting untuk membangun kepercayaan publik. Perlu pula adanya mekanisme pelaporan yang jelas dan akses informasi publik yang lebih luas untuk memastikan akuntabilitas dan mencegah potensi konflik kepentingan.
Polemik ini menjadi pengingat penting akan perlunya keseimbangan antara kepentingan pemerintah dan prinsip-prinsip good corporate governance dalam pengelolaan BUMN. Keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan independensi operasional bank BUMN, serta mencegah potensi konflik kepentingan yang dapat merugikan negara dan masyarakat luas. Perdebatan ini diharapkan dapat mendorong reformasi tata kelola BUMN yang lebih baik dan transparan di masa mendatang.