Pertumbuhan Bank Syariah Tertinggal: Akses, Produk, dan SDM Jadi Kendala Utama

Jakarta, 26 Maret 2025 – Meskipun Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah, didukung oleh mayoritas penduduk muslim, realitanya pertumbuhan sektor perbankan syariah masih tertinggal jauh di belakang perbankan konvensional. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, dalam acara Puncak Gerak Syariah di kantor OJK, Selasa (25/3/2025).

Data OJK per Januari 2025 menunjukkan disparitas yang signifikan. Aset perbankan umum tumbuh sebesar 6,34% year-on-year (yoy) mencapai Rp 12.410,7 triliun, dengan pertumbuhan kredit mencapai 10,27% yoy menjadi Rp 7.782,2 triliun. Dana Pihak Ketiga (DPK) pun menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 5,51% yoy, mencapai Rp 8.879,3 triliun.

Sebaliknya, pertumbuhan sektor perbankan syariah, meski positif, masih jauh lebih rendah. Total aset perbankan syariah tumbuh 9,17% yoy menjadi Rp 948,2 triliun, dengan pangsa pasar (market share) hanya 7,5%. Dari sisi intermediasi, penyaluran pembiayaan mencapai Rp 639,1 triliun, tumbuh 9,77% yoy, sementara DPK mencapai Rp 737,4 triliun, tumbuh 9,85% yoy.

"Sekali lagi, pertumbuhan perbankan syariah masih berada di bawah pertumbuhan perbankan umum," tegas Mahendra. Ia menekankan bahwa kendala utama bukan semata-mata terletak pada kinerja internal bank syariah, melainkan juga pada keterbatasan akses yang dialami sektor ini. "Masalah akses inilah yang menghambat percepatan pertumbuhan perbankan syariah," tambahnya.

Lebih lanjut, Mahendra menyorot rendahnya pertumbuhan kapitalisasi pasar syariah, yang hanya mencapai 1,77%. Angka ini, menurutnya, mencerminkan tantangan yang masih harus diatasi oleh industri perbankan syariah.

Pertumbuhan Bank Syariah Tertinggal: Akses, Produk, dan SDM Jadi Kendala Utama

OJK mengidentifikasi tiga tantangan utama yang menghambat pertumbuhan sektor ini. Pertama, keterbatasan akses yang tidak merata. Akses yang dimaksud mencakup berbagai aspek, mulai dari akses fisik berupa keberadaan kantor cabang yang masih terbatas di daerah-daerah tertentu, hingga akses informasi dan literasi keuangan syariah di kalangan masyarakat. Ketimpangan akses ini menyebabkan potensi pasar yang besar belum tergarap secara optimal.

Kedua, keterbatasan pengembangan dan diferensiasi produk. Mahendra menyoroti kecenderungan bank syariah untuk meniru produk konvensional, alih-alih berinovasi dan menciptakan produk-produk yang unik dan sesuai dengan kebutuhan spesifik masyarakat. Minimnya diferensiasi produk ini membuat bank syariah kurang mampu menarik minat nasabah dan bersaing secara efektif dengan perbankan konvensional. Hal ini membutuhkan strategi yang lebih agresif dalam riset dan pengembangan produk yang berbasis pada prinsip syariah, namun tetap inovatif dan kompetitif.

Ketiga, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Mahendra menyatakan bahwa kekurangan SDM yang terampil dan berpengalaman di bidang perbankan syariah menjadi kendala signifikan. Hal ini mencakup kurangnya tenaga profesional yang memahami prinsip-prinsip syariah secara mendalam, serta kurangnya pelatihan dan pengembangan kapasitas SDM yang berkelanjutan. Peningkatan kualitas SDM melalui program pelatihan yang intensif dan terstruktur menjadi sangat krusial untuk mendorong pertumbuhan sektor ini.

Terkait dengan keterbatasan modal yang kerap menjadi hambatan ekspansi bisnis, Mahendra melihat adanya solusi potensial. "Keterbatasan modal di perbankan syariah dapat dipercepat solusinya, terutama dengan adanya panduan dari OJK untuk mendorong spin-off dari Unit Usaha Syariah (UUS) menjadi bank syariah mandiri," jelasnya. Strategi ini diharapkan dapat mempercepat akses perbankan syariah terhadap modal yang dibutuhkan untuk ekspansi dan pengembangan bisnis.

Kesimpulannya, pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia masih menghadapi tantangan yang kompleks dan multi-faceted. Meskipun potensi pasar sangat besar, keterbatasan akses, kurangnya diferensiasi produk, dan kekurangan SDM berkualitas menjadi hambatan utama. Peran OJK dalam memberikan panduan dan mendorong transformasi, khususnya melalui strategi spin-off UUS, diharapkan dapat menjadi katalis percepatan pertumbuhan perbankan syariah dan mewujudkan potensi ekonomi syariah Indonesia yang sesungguhnya. Namun, keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada komitmen dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan, termasuk bank syariah, pemerintah, dan lembaga pendidikan. Langkah-langkah konkret dan terukur perlu segera diimplementasikan untuk mengatasi hambatan yang ada dan mendorong pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *