Misteri Hilangnya 32 Situ di Bekasi-Bogor: Ancaman Bencana dan Pertanyaan Besar Tata Ruang

Jakarta, 20 Maret 2025 – Kehilangan 32 situ di wilayah Bekasi dan Bogor, Jawa Barat, menimbulkan kekhawatiran serius terkait peningkatan risiko bencana banjir dan mengungkap celah besar dalam pengelolaan tata ruang di daerah tersebut. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengungkapkan data mengejutkan ini berdasarkan laporan Kementerian Pekerjaan Umum (PUPR) yang disampaikan dalam Rapat Koordinasi (Rakor) tanah dan pengendalian banjir beberapa waktu lalu.

"Kemarin sudah ada laporan 32 situ di kawasan Jawa Barat, khususnya wilayah Bekasi dan Bogor Timur, yang hilang," ungkap Nusron dalam media gathering di Kantor ATR/BPN, Jakarta Selatan, Rabu (19/3/2025). Pernyataan ini langsung menyita perhatian publik dan memicu pertanyaan mendalam mengenai penyebab hilangnya cekungan air yang berperan krusial dalam mitigasi bencana banjir di wilayah tersebut.

Kehilangan situ-situ tersebut bukan sekadar kehilangan aset lingkungan, melainkan juga kehilangan fungsi vital dalam sistem pengendalian banjir. Situ, sebagai cekungan air alami, berfungsi sebagai penampung air hujan, mengurangi debit air sungai saat musim hujan, dan mencegah terjadinya luapan air yang berujung pada banjir. Hilangnya 32 situ secara bersamaan mengindikasikan adanya masalah sistemik yang perlu segera diatasi.

Namun, hingga saat ini, penyebab pasti hilangnya situ-situ tersebut masih menjadi misteri. Menteri Nusron mengakui belum memiliki data detail mengenai hal ini. "Saya belum mengetahui secara detail penyebabnya karena belum melakukan pengecekan satu per satu," akunya. Beliau menjelaskan bahwa pengecekan lapangan dan investigasi lebih lanjut akan segera dilakukan.

Langkah konkrit yang akan diambil adalah rapat koordinasi dengan Gubernur Banten, Andra Soni, pada hari Jumat mendatang. "Hari Jumat nanti saya rapat dengan Gubernur Banten, saya mau hitung lagi yang di Banten ada berapa, baru kita lihat detailnya satu per satu," jelasnya. Rapat tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran lebih komprehensif mengenai situasi di lapangan, termasuk lokasi pasti situ-situ yang hilang dan kondisi lahan saat ini.

Misteri Hilangnya 32 Situ di Bekasi-Bogor: Ancaman Bencana dan Pertanyaan Besar Tata Ruang

Tantangan utama yang dihadapi dalam investigasi ini adalah sulitnya melacak keberadaan situ-situ yang telah hilang. "Ya kan lokasinya, karena situnya udah nggak ada, kita nggak tahu dulunya di mana. Saya kan baru juga di sini. Nanti akan saya tanya ini dulu di mana sih letak situnya, sekarang jadi apa. Nanti akan saya pelajari satu per satu," tambah Nusron. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya pendataan dan pengawasan terhadap aset lingkungan di daerah tersebut.

Lebih lanjut, Menteri Nusron juga belum dapat memastikan bagaimana alih fungsi lahan yang menyebabkan hilangnya situ-situ tersebut. Dalam Rakor sebelumnya, fokus pembahasan tertuju pada masalah sungai dan sempadan sungai di kawasan Kali Bekasi. "Karena kemarin itu topiknya bicara masalah sungai dan sempadan sungai tapi merembet ke situ. Jadi kita belum siap datanya, ini lagi teman-teman Bekasi, Bogor kita suruh untuk ngecek," katanya. Pernyataan ini menunjukkan perlunya koordinasi yang lebih intensif antar instansi terkait untuk mendapatkan data yang komprehensif dan akurat.

Kehilangan 32 situ ini bukan hanya masalah lingkungan semata, tetapi juga berimplikasi pada aspek hukum dan tata ruang. Pertanyaan mengenai izin alih fungsi lahan, pengawasan pembangunan, dan penegakan hukum terkait pelanggaran lingkungan menjadi krusial untuk diusut tuntas. Apakah ada pelanggaran izin yang terjadi? Apakah pengawasan terhadap perubahan tata guna lahan di daerah tersebut berjalan efektif? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut jawaban yang transparan dan akuntabel dari pihak-pihak terkait.

Kejadian ini menjadi alarm bagi pemerintah daerah dan pusat untuk meningkatkan pengawasan dan perlindungan terhadap aset lingkungan, khususnya cekungan air alami seperti situ. Sistem pendataan yang lebih terintegrasi dan akurat, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran tata ruang, menjadi kunci pencegahan kejadian serupa di masa mendatang. Kehilangan 32 situ ini bukan hanya kerugian lingkungan, tetapi juga kerugian ekonomi dan sosial jangka panjang bagi masyarakat Bekasi dan Bogor.

Ke depan, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan akademisi untuk melakukan pemetaan dan inventarisasi aset lingkungan secara menyeluruh. Pengembangan sistem informasi geografis (SIG) yang terintegrasi dan mudah diakses publik dapat membantu dalam memantau perubahan tata guna lahan dan mencegah terjadinya alih fungsi lahan yang ilegal.

Selain itu, peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan dan peran situ dalam mencegah bencana banjir juga sangat penting. Pendidikan dan sosialisasi mengenai tata ruang dan perlindungan lingkungan perlu ditingkatkan untuk membangun kesadaran kolektif dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Kasus hilangnya 32 situ di Bekasi-Bogor ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Kehilangan aset lingkungan yang signifikan ini harus menjadi momentum untuk melakukan reformasi dalam pengelolaan tata ruang dan perlindungan lingkungan di Indonesia. Transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci untuk mencegah kejadian serupa dan memastikan keberlanjutan lingkungan hidup bagi generasi mendatang. Investigasi yang menyeluruh dan transparan sangat dibutuhkan untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya 32 situ ini dan mencegah tragedi serupa terulang kembali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *