Jakarta, 17 Maret 2025 – Ketegangan memuncak di sektor logistik Indonesia menjelang Lebaran 2025. Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) mengancam akan menggelar aksi mogok nasional selama dua hari, Kamis dan Jumat, 20-21 Maret 2025. Aksi ini sebagai bentuk protes keras terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) yang mengatur pembatasan operasional truk angkutan barang selama periode mudik dan balik Lebaran. Ancaman mogok ini berpotensi melumpuhkan distribusi barang dan menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan.
Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Aptrindo DKI Jakarta, dalam surat edaran yang diterima detikcom, menyatakan bahwa aksi mogok akan diikuti oleh sekitar 500 perusahaan angkutan barang di Jakarta dan sekitarnya. Surat edaran tersebut ditandatangani oleh Dharmawan Witanto selaku Ketua DPD Aptrindo Jakarta dan Fauzan Azim Musa sebagai koordinator aksi. Intinya, Aptrindo menuntut revisi terhadap durasi pembatasan operasional yang dinilai terlalu lama, yakni 16 hari.
"Dengan ini kami beritahukan bahwa Dewan Pimpinan Daerah Aptrindo DKI Jakarta akan melakukan aksi setop operasi yang pelaksanaannya pada Kamis dan Jumat 20-21 Maret 2025 pukul 00.00-24.00 WIB," demikian bunyi pernyataan resmi Aptrindo.
Aptrindo beralasan, pembatasan operasional selama 16 hari akan menimbulkan kerugian besar bagi pelaku usaha logistik, khususnya para pengemudi truk dan pekerja bongkar muat yang bergantung pada upah harian. Kehilangan pendapatan selama periode tersebut akan berdampak signifikan terhadap kesejahteraan mereka. Dalam surat edarannya, Aptrindo secara tegas menyatakan penolakan terhadap durasi pelarangan yang dianggap tidak rasional dan merugikan.
"Kami Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) keberatan dan menolak durasi pelarangan operasional kendaraan angkutan barang sangat lama atau sekitar 16 hari, atas pelarangan operasional kendaraan angkutan barang tersebut tentunya berdampak bagi pelaku usaha dunia logistik dan terutama adalah bagi pengemudi dan tenaga buruh bongkar muat yang berpenghasilan," tegas Aptrindo.
Menanggapi ancaman mogok tersebut, Menteri Perhubungan (Menhub) Dudy Purwagandhi memberikan klarifikasi. Ia menjelaskan bahwa pembatasan operasional angkutan barang merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memastikan keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran arus mudik dan balik Lebaran 2025. Menhub menekankan bahwa kebijakan ini bukanlah larangan total operasional angkutan barang.
"Aturan pembatasan ini dibuat dengan mempertimbangkan aspek pelayanan kepada seluruh masyarakat. Tidak ada pelarangan angkutan barang. Jadi angkutan barang dan arus mudik bisa berjalan beriringan," jelas Menhub Dudy dalam keterangan tertulisnya.
Menhub merinci bahwa pembatasan operasional difokuskan pada kendaraan barang dengan sumbu tiga atau lebih, kendaraan dengan kereta tempelan atau gandengan, serta kendaraan pengangkut hasil galian, tambang, dan bahan bangunan. Namun, terdapat pengecualian bagi beberapa jenis angkutan, seperti kendaraan dengan sumbu dua yang memenuhi persyaratan berat muatan, kendaraan yang beroperasi berdasarkan diskresi kepolisian, dan distribusi yang memprioritaskan keselamatan.
Lebih lanjut, Menhub menjelaskan bahwa pembatasan ini didasarkan pada data kejadian kecelakaan lalu lintas tahun 2024. Data tersebut menunjukkan adanya 186 kejadian kecelakaan, dengan 53% di antaranya melibatkan truk. Kendaraan barang dengan tiga sumbu ke atas, menurut Menhub, berpotensi menyebabkan kemacetan karena kecepatannya yang relatif rendah.
"Untuk angkutan logistik tidak ada larangan atau pembatasan sehingga pasokannya tetap aman," ujar Menhub Dudy, meyakinkan publik bahwa pasokan logistik tetap terjamin.
Namun, penjelasan Menhub tersebut tampaknya belum cukup meredakan ketegangan. Aptrindo tetap bersikukuh pada tuntutan revisi durasi pembatasan. Perbedaan pandangan antara pemerintah dan Aptrindo ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatif terhadap perekonomian nasional, terutama pada sektor logistik yang vital bagi kelancaran distribusi barang dan jasa.
Pertanyaannya kini, apakah pemerintah akan bernegosiasi dengan Aptrindo untuk mencari solusi kompromi sebelum aksi mogok benar-benar terjadi? Atau, apakah pemerintah akan tetap teguh pada kebijakannya, yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar akibat terganggunya distribusi barang selama dua hari? Situasi ini menuntut langkah cepat dan bijak dari pemerintah untuk mencegah dampak negatif yang lebih luas. Kejelasan dan transparansi informasi dari kedua belah pihak sangat krusial untuk meredakan ketegangan dan mencari jalan keluar yang adil bagi semua pihak yang terlibat. Kegagalan dalam hal ini berpotensi menimbulkan krisis logistik yang berdampak pada harga barang dan stabilitas ekonomi nasional. Oleh karena itu, dialog dan negosiasi yang konstruktif menjadi kunci untuk menyelesaikan permasalahan ini.