Jakarta, 15 Maret 2025 – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran melanda Indonesia di awal tahun 2025. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat angka yang mengkhawatirkan: sekitar 60.000 buruh telah kehilangan pekerjaan hingga dua bulan pertama tahun ini. Data tersebut berasal dari 50 perusahaan di berbagai sektor industri, menunjukkan krisis ketenagakerjaan yang semakin mengkhawatirkan.
Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyatakan keprihatinannya atas lonjakan signifikan jumlah PHK tersebut. Ia menyebut situasi ini sebagai gelombang PHK yang dahsyat dan menuntut respon cepat dari pemerintah. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah PHK massal di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang turut menambah panjang daftar korban PHK.
Beragam faktor melatarbelakangi PHK massal ini. Iqbal menjelaskan bahwa penyebabnya beragam, mulai dari pailitnya beberapa perusahaan, kebijakan efisiensi yang berujung pada pengurangan karyawan secara besar-besaran, hingga relokasi pabrik ke negara lain seperti Tiongkok dan Jepang. Pergeseran ini menunjukkan tantangan global yang dihadapi sektor industri dalam negeri, dan dampaknya yang langsung dirasakan oleh para pekerja.
Ketidakpastian masa depan dan terancamnya kesejahteraan para buruh menjadi fokus utama kritik KSPI. Iqbal menyoroti 37 perusahaan di Jawa yang melakukan PHK tanpa memberikan kepastian pembayaran pesangon dan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada para pekerja yang dirumahkan. Ia bahkan menuding janji pemerintah, khususnya Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) yang menjanjikan pembayaran THR buruh Sritex sebelum H-7 Lebaran sebagai "kebohongan publik," mengingat banyak laporan dari buruh Sritex yang belum menerima haknya. Laporan tersebut, menurut Iqbal, diterima langsung oleh Posko KSPI dan Partai Buruh.
Data yang dikumpulkan KSPI menunjukkan gambaran yang lebih memprihatinkan. Sebanyak 44.069 buruh dilaporkan belum menerima pesangon dan THR dari 37 perusahaan tersebut. Data ini belum termasuk 13 perusahaan lain yang tengah dalam proses verifikasi, dengan perkiraan jumlah buruh ter-PHK mencapai 16.000 orang. Sektor industri yang terdampak PHK massal ini sangat beragam, meliputi industri kelapa sawit, tekstil garmen sepatu, elektronik, industri jasa dan perdagangan (termasuk startup dan ritel seperti KFC), serta industri otomotif truk/dump truck. Keragaman sektor ini menunjukkan bahwa krisis ketenagakerjaan ini bukan hanya masalah sektoral, melainkan krisis yang bersifat sistemik.
Lebih lanjut, Koordinator Posko Orange KSPI-Partai Buruh, Lukman Hakim, mengungkapkan adanya intimidasi dan ancaman yang dialami beberapa mantan buruh Sritex yang melaporkan permasalahan mereka ke posko. Ancaman penculikan bahkan dilaporkan terjadi, membuat para korban takut untuk kembali ke posko dan menandatangani surat kuasa untuk melanjutkan proses advokasi hukum. Kondisi ini memperlihatkan adanya hambatan dan tekanan yang dihadapi para buruh dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Said Iqbal secara tegas mempertanyakan peran pemerintah, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan, dalam melindungi hak-hak pekerja. Ia menilai pemerintah terkesan lamban dan tidak responsif terhadap krisis ketenagakerjaan yang sedang terjadi. Oleh karena itu, KSPI mendesak Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, untuk segera membentuk Satgas PHK guna menangani permasalahan ini secara komprehensif dan menyeluruh. Pembentukan satgas ini diharapkan dapat mempercepat proses penyelesaian kasus PHK, memastikan pembayaran pesangon dan THR kepada para buruh yang berhak, serta memberikan perlindungan hukum bagi para pekerja yang mengalami intimidasi.
"Pemerintah tidak boleh tinggal diam! Ini bukan hanya soal Sritex, tetapi 60.000 buruh yang nasibnya terkatung-katung," tegas Iqbal. Ia menekankan pentingnya tindakan nyata dari pemerintah untuk mencegah meluasnya dampak negatif PHK massal ini terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat. KSPI juga mendesak agar pembayaran THR dilakukan selambat-lambatnya H-7 sebelum Lebaran, sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab pemerintah terhadap nasib para buruh yang terkena PHK.
Kasus PHK massal ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera melakukan evaluasi kebijakan dan menciptakan iklim investasi yang lebih berkelanjutan dan memperhatikan hak-hak pekerja. Ketidakpastian ekonomi global memang menjadi tantangan, namun hal tersebut tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengabaikan perlindungan dan kesejahteraan para pekerja yang telah berkontribusi besar bagi perekonomian negara. Tanggung jawab pemerintah untuk memastikan terpenuhinya hak-hak pekerja dan menciptakan lapangan kerja yang layak menjadi kunci dalam mengatasi krisis ketenagakerjaan ini. Kegagalan pemerintah dalam hal ini akan berdampak luas, tidak hanya pada para buruh yang terkena PHK, tetapi juga pada stabilitas sosial dan ekonomi negara secara keseluruhan.