Ketegangan geopolitik kembali memanas menyusul rencana penjualan aset pelabuhan milik konglomerat Hong Kong, CK Hutchison Holdings, kepada konsorsium yang dipimpin perusahaan investasi Amerika Serikat (AS), BlackRock. Rencana divestasi senilai US$ 23 miliar (sekitar Rp 377,2 triliun dengan kurs Rp 16.400) ini, yang meliputi 80% saham Hutchison Port Group, telah memicu kemarahan keras dari pemerintah China. Beijing melihat penjualan ini, yang mencakup 90% saham di dua pelabuhan strategis di Panama, sebagai ancaman terhadap kepentingan ekonomi dan geopolitiknya.
Pengumuman penjualan pada 4 Maret 2025 lalu, yang mencakup 43 pelabuhan peti kemas di 23 negara, segera disambut dengan kecaman pedas dari media pro-Beijing, Ta Kung Pao. Surat kabar tersebut, melalui sebuah artikel yang dimuat di situs web Kantor Pusat Beijing untuk urusan Hong Kong, mencap rencana penjualan tersebut sebagai "penghianatan". Artikel tersebut mengungkapkan kekhawatiran China akan potensi "amerikanisasi" Terusan Panama, yang dikhawatirkan akan dimanfaatkan Washington untuk membatasi perdagangan China.
Meskipun secara resmi pemerintah China belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait transaksi ini – Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menyatakan bahwa mereka tidak berkomentar pada transaksi komersial – nada protes yang kuat telah tersirat dalam pernyataan media pro-pemerintah dan reaksi keras dari kalangan analis. Kekhawatiran Beijing bukan tanpa dasar. Terusan Panama, sebagai jalur pelayaran vital yang menghubungkan Samudra Atlantik dan Pasifik, memiliki signifikansi geopolitik yang sangat besar. Kontrol atas infrastruktur pelabuhan di sekitar terusan ini berarti memiliki pengaruh signifikan terhadap arus perdagangan global, dan China jelas tidak ingin melihat AS memperkuat cengkeramannya di wilayah strategis ini.
Presiden AS Donald Trump, yang kembali menjabat untuk periode kedua, sebelumnya telah menyatakan niatnya untuk mengembalikan kendali Terusan Panama ke AS. Tuduhan Trump bahwa China telah menguasai jalur strategis ini semakin memperkuat persepsi Beijing bahwa penjualan aset pelabuhan tersebut merupakan bagian dari strategi AS untuk menghambat pengaruh ekonomi China.
Namun, CK Hutchison Holdings, melalui co-managing director-nya, Frank Sixt, membantah adanya kaitan politik dalam transaksi ini. Sixt menegaskan bahwa kesepakatan tersebut murni bersifat komersial dan tidak terkait dengan laporan berita politik baru-baru ini mengenai Pelabuhan Panama. Pernyataan ini mencoba meredam ketegangan, namun sulit untuk mengabaikan konteks geopolitik yang lebih luas yang melingkupi transaksi ini.
Analis keuangan juga memberikan pandangan yang beragam. Zerlina Zeng dan Zoey Zhou dari firma riset utang CreditSights, misalnya, mencatat bahwa kesepakatan ini merupakan transaksi yang rumit dan besar, yang masih menunggu uji tuntas dan persetujuan regulator di berbagai negara tempat pelabuhan-pelabuhan tersebut berada. Mereka menekankan bahwa karena semua aset yang dijual berada di luar China dan Hong Kong, transaksi tersebut tidak tunduk pada persetujuan regulator China atau otoritas di Hong Kong. Pernyataan ini tampaknya berusaha menetralisir kekhawatiran Beijing dengan menekankan aspek legal dan teknis dari transaksi tersebut.
Namun, argumen ini tidak sepenuhnya meredakan kekhawatiran. Meskipun secara hukum mungkin tidak diperlukan persetujuan regulator China, tekanan politik dari Beijing tetap signifikan. CK Hutchison, sebagai perusahaan Hong Kong dengan ikatan kuat dengan China daratan, sulit untuk mengabaikan tekanan politik yang diarahkan kepada taipan Hong Kong dan penasihat senior perusahaan, Li Ka-shing. Li Ka-shing diharapkan untuk mempertimbangkan kembali rencana divestasi tersebut, mengingat potensi konsekuensi politik dan ekonomi yang signifikan.
Lebih lanjut, kepemilikan 20% saham Hutchison Port Group oleh PSA International, otoritas pelabuhan milik negara Singapura, menambah lapisan kompleksitas pada situasi ini. Kehadiran Singapura sebagai pemegang saham minoritas menunjukkan dimensi regional yang lebih luas dari pertarungan geopolitik ini, di mana negara-negara di Asia Tenggara juga terlibat dalam dinamika persaingan antara AS dan China.
Ke depan, perkembangan situasi ini akan sangat bergantung pada beberapa faktor kunci. Pertama, apakah CK Hutchison akan melanjutkan rencana penjualan tersebut di tengah tekanan politik yang kuat dari Beijing. Kedua, bagaimana AS dan China akan merespon secara resmi terhadap transaksi ini. Ketiga, peran dan pengaruh Singapura sebagai pemegang saham minoritas akan menjadi faktor penting dalam menentukan arah perkembangan selanjutnya.
Secara keseluruhan, rencana penjualan aset pelabuhan Panama ini bukan hanya sekadar transaksi komersial biasa. Ini merupakan manifestasi dari persaingan geopolitik yang semakin intensif antara AS dan China, di mana kontrol atas infrastruktur strategis menjadi taruhan utama. Reaksi keras dari Beijing menunjukkan betapa sensitifnya isu ini, dan potensi konsekuensi bagi CK Hutchison, Li Ka-shing, dan bahkan hubungan AS-China masih belum dapat dipastikan. Perkembangan selanjutnya akan menjadi fokus perhatian dunia dalam beberapa bulan mendatang.