Bulan Ramadan, bulan suci penuh berkah bagi umat Muslim, identik dengan menahan haus dan lapar dari terbit hingga terbenamnya matahari. Intuisi umum mungkin menunjuk pada penurunan pengeluaran rumah tangga selama periode ini. Namun, realitas di lapangan justru sebaliknya. Studi oleh Febriyanto dkk (2019) menunjukkan peningkatan konsumsi rumah tangga yang signifikan selama Ramadan, berkisar antara 10-30% hingga bahkan 100-150%. Mengapa demikian? Fenomena pembengkakan pengeluaran di bulan yang seharusnya penuh penghematan ini perlu ditelisik lebih dalam. Lima faktor utama berkontribusi pada situasi ini, seperti yang akan diuraikan berikut ini.
1. Konsumsi Berlebihan saat Berbuka Puasa: Kenyang Mata, Kosong Kantong
Salah satu penyebab utama pembengkakan pengeluaran Ramadan adalah kecenderungan membeli makanan dan minuman berbuka puasa secara berlebihan. Bayangan menikmati hidangan lezat setelah seharian berpuasa kerap memicu pembelian impulsif. Akibatnya, jumlah makanan yang dibeli seringkali melebihi kebutuhan, mengakibatkan sisa makanan yang terbuang sia-sia. Secara individu, nilai kerugian mungkin terkesan kecil. Namun, jika dikalikan dengan frekuensi harian selama sebulan penuh, akumulasinya dapat mencapai angka yang signifikan. Pengeluaran yang seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan lain justru tersedot untuk membeli makanan yang akhirnya berakhir di tempat sampah. Perencanaan menu buka puasa yang matang dan terukur menjadi kunci untuk menghindari jebakan konsumtif ini.
2. Buka Bersama (Bukber): Silaturahmi yang Berbiaya Mahal
Tradisi buka bersama (bukber) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Ramadan. Bukber dengan teman, keluarga, rekan kerja, dan komunitas menjadi ajang silaturahmi yang dinantikan. Namun, kegiatan ini seringkali berdampak pada peningkatan pengeluaran. Biaya konsumsi, yang seringkali dipatok per kepala atau dibagi secara patungan, merupakan pos pengeluaran utama. Belum lagi biaya transportasi menuju lokasi bukber, yang bisa menjadi beban tambahan, terutama jika lokasi bukber berada jauh dari tempat tinggal. Semakin banyak undangan bukber yang dipenuhi, semakin besar pula pengeluaran yang harus dikeluarkan. Memilih tempat bukber yang lebih terjangkau atau mengusulkan alternatif lokasi yang hemat biaya menjadi solusi bijak untuk mengendalikan pengeluaran.
3. Gaya Hidup Konsumtif Jelang Lebaran: Pakaian Baru, Beban Baru
Tradisi mengenakan pakaian baru saat Lebaran turut berkontribusi pada pembengkakan pengeluaran selama Ramadan. Banyaknya promo dan diskon yang ditawarkan berbagai toko menjelang Lebaran seringkali memicu pembelian impulsif, meski pakaian yang sudah dimiliki masih dalam kondisi baik. Dorongan untuk tampil baru dan mengikuti tren fesyen mengakibatkan pengeluaran yang tidak terencana dan bisa jadi tidak perlu. Mempertimbangkan kembali kebutuhan sebenarnya dan menghindari pembelian yang didorong oleh tren semata merupakan langkah efektif untuk mengendalikan pengeluaran di sektor ini. Menggunakan pakaian lama yang masih layak pakai merupakan alternatif yang bijaksana dan hemat.
4. Mudik Lebaran: Tradisi yang Membutuhkan Pengorbanan Finansial
Mudik atau pulang kampung merupakan tradisi yang sangat dinantikan oleh banyak orang selama Ramadan dan Lebaran. Kumpul keluarga, silaturahmi dengan sanak saudara, dan berbagi suasana kebersamaan menjadi momen yang berharga. Namun, mudik membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Biaya transportasi, baik menggunakan kendaraan pribadi maupun umum, merupakan pos pengeluaran terbesar. Belum lagi biaya akomodasi, konsumsi selama berada di kampung halaman, dan pemberian uang saku atau amplop Lebaran kepada keluarga. Semua ini secara akumulatif dapat membuat pengeluaran membengkak secara signifikan. Perencanaan yang matang, seperti membandingkan harga tiket transportasi, memilih moda transportasi yang lebih ekonomis, dan mengatur anggaran secara detail, dapat membantu meminimalisir pembengkakan biaya mudik.
5. Inflasi: Ancaman Tersembunyi yang Mempengaruhi Daya Beli
Faktor eksternal seperti inflasi juga turut berperan dalam peningkatan pengeluaran selama Ramadan. Data dari BPS Sumatera Selatan, misalnya, menunjukkan tren kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadan setiap tahunnya. Peningkatan permintaan barang dan jasa oleh masyarakat selama Ramadan menyebabkan harga-harga merangkak naik. Kondisi ini membuat daya beli masyarakat menurun dan membutuhkan pengeluaran yang lebih besar untuk mendapatkan barang dan jasa yang sama. Inflasi merupakan faktor yang berada di luar kendali individu, namun kewaspadaan dan perencanaan keuangan yang cermat dapat membantu meminimalisir dampaknya terhadap pengeluaran rumah tangga.
Kesimpulannya, pembengkakan pengeluaran selama Ramadan bukanlah fenomena yang semata-mata disebabkan oleh satu faktor tunggal. Kombinasi dari kebiasaan konsumtif, tradisi sosial, dan faktor ekonomi makro seperti inflasi, berperan dalam membentuk situasi ini. Kesadaran akan pola pengeluaran, perencanaan yang matang, dan disiplin dalam berbelanja merupakan kunci untuk menikmati Ramadan dengan penuh berkah tanpa harus menanggung beban finansial yang berat setelahnya. Mengutamakan kebutuhan daripada keinginan, serta memanfaatkan berbagai strategi penghematan, akan membantu menjaga keseimbangan antara menjalankan ibadah dan mengelola keuangan dengan bijak.