Jakarta, 26 Februari 2025 – Perkembangan bursa karbon Indonesia yang baru diluncurkan pada 26 September 2023 menjadi sorotan tajam dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, mengajukan klaim optimistis mengenai kinerja bursa karbon nasional. Ia membandingkan volume perdagangan Indonesia dengan Jepang dan Malaysia, menyatakan Indonesia unggul dengan volume transaksi 1.557.326 ton CO2 ekuivalen senilai Rp 76,56 miliar. Angka ini, menurutnya, melampaui Jepang (768.000 ton CO2 ekuivalen) dan Malaysia (200.000 ton CO2 ekuivalen).
"Perbandingan dengan Jepang dan Malaysia dipilih karena waktu pendirian bursa karbonnya relatif dekat dengan Indonesia," jelas Inarno, mencoba membenarkan klaimnya. Ia menekankan bahwa angka tersebut menunjukkan kemajuan signifikan bursa karbon Indonesia.
Namun, klaim tersebut langsung dibantah keras oleh sejumlah anggota DPR RI. Anggota Komisi XI, Harris Turino, menyatakan kekecewaannya yang mendalam atas minimnya transaksi bursa karbon yang hanya mencapai Rp 76,5 miliar dalam kurun waktu lima bulan. Pernyataan ini bertolak belakang dengan ekspektasi awal yang begitu tinggi.
"Miris! Saat peluncuran, bursa karbon ini digembar-gemborkan akan mencapai ratusan triliun rupiah. Realitanya, hanya puluhan miliar. Ini jelas jauh dari harapan," tegas Harris, menyoroti disparitas antara janji dan realisasi.
Turino menduga rendahnya transaksi ini disebabkan oleh kurangnya sinkronisasi antar kementerian/lembaga terkait. Hal ini, menurutnya, menghambat pertumbuhan bursa karbon dan menciptakan pasar yang tidak menarik bagi investor. Ia juga mempertanyakan kesiapan Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai penyelenggara bursa karbon, mengingat minimnya pengalaman BEI dalam sektor ini.
"OJK menunjuk BEI sebagai penyelenggara, padahal BEI tidak memiliki pengalaman sama sekali di bidang ini. Evaluasi kesiapan BEI, baik dari segi infrastruktur, teknologi, maupun sumber daya manusia (SDM), perlu dipertanyakan," ujar Turino, mengungkapkan keraguannya terhadap kapabilitas BEI dalam mengelola bursa karbon.
Sentimen serupa juga diungkapkan oleh Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun. Ia menilai kinerja bursa karbon Indonesia sangat mengecewakan, terutama mengingat potensi Indonesia sebagai negara dengan hutan tropis terluas dan berperan penting dalam penyerapan karbon global.
"Kita adalah paru-paru dunia, memiliki hutan tropis dengan nilai tinggi. Namun, kita justru malu melihat perkembangan bursa karbon kita yang sangat memprihatinkan," kata Misbakhun, mengungkapkan kekecewaan mendalam atas capaian yang jauh dari potensi.
Misbakhun mendesak dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap bursa karbon Indonesia. Ia mempertanyakan mekanisme pasar yang belum mampu menghubungkan pihak yang membutuhkan karbon (demand) dengan pihak yang menyediakannya (supply).
"Apakah kita tidak mampu menjadi penyelenggara yang efektif, atau kita gagal membangun bursa karbon sebagai instrumen yang menarik minat investor? Perlu evaluasi total untuk mengidentifikasi akar masalah dan mencari solusi yang tepat," tegas Misbakhun, menekankan perlunya investigasi mendalam untuk menemukan penyebab utama kegagalan ini.
Kekecewaan DPR RI terhadap kinerja bursa karbon Indonesia bukan tanpa alasan. Harapan awal yang begitu besar, diiringi dengan potensi ekonomi dan lingkungan yang signifikan, berbanding terbalik dengan realitas yang ada. Minimnya transaksi dan pertanyaan mengenai kesiapan infrastruktur, teknologi, dan SDM menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh dan reformasi strategi untuk mengembangkan bursa karbon Indonesia agar sesuai dengan potensi dan harapan awal. Kegagalan ini bukan hanya kerugian ekonomi, tetapi juga menunjukkan kelemahan dalam pengelolaan sumber daya alam dan komitmen Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim. Langkah konkrit dan evaluasi yang transparan sangat diperlukan untuk memperbaiki kinerja bursa karbon dan mengembalikan kepercayaan publik. Pertanyaan besar kini tertuju pada OJK dan BEI, bagaimana mereka akan merespon kritik tajam dari DPR RI dan memperbaiki kinerja bursa karbon Indonesia di masa mendatang. Apakah klaim kemajuan yang disampaikan OJK dapat dipertanggungjawabkan, atau hanya sekadar angka-angka yang menutupi realitas yang jauh lebih kompleks dan memprihatinkan? Jawabannya akan menentukan masa depan bursa karbon Indonesia dan komitmen negara dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.